Memori Peninjauan Kembali Bambang Tri Mulyono, Lengkap

Penerapan Pasal 28 ayat (2) jo 45A UU ITE Tidak Relevan. Pasal tersebut ditujukan untuk ujaran kebencian atas dasar SARA. Dalam perkara a quo, tidak terdapat ujaran kebencian berdasar SARA. Dalam kasus aquo, yang ditonjolkan adalah masalah kehidupan Joko Widodo, masalah sekolah Joko Widodo dan masalah ijazah Joko Widodo bukan masalah SARA. Judex Factie dan Judex Juris telah salah dalam menerapkan dan menafsirkan suatu peristiwa hukum kedalam sebuah peraturan pidana.
Jika melihat pada peristiwa yang terjadi, pendeknya, mubahalah yang divideokan dan diunggah ke media sosial bukanlah perbuatan yang melanggar hukum dan juga bukan penistaan agama Islam oleh karenanya bukan masalah SARA. Jika pun toh isi dari video tersebut berisi berita bohong, hal tersebut juga bukan masalah SARA. Pasal 28 ayat (2) UU ITE berlaku untuk ujaran kebencian berbasis SARA, bukan kritik administratif.
Menurut Prof. Harkristuti Harkrisnowo, penggunaan UU ITE untuk membungkam kritik publik merupakan pelanggaran terhadap ruang demokrasi digital. Putusan MK No. 50/PUU-VI/2008 juga menjamin ruang kritik terhadap pejabat publik. Karena tidak terdapat unsur objektif dari delik yang diterapkan, maka terjadi error in objecto dalam penerapan hukum pidana. Hal ini merupakan kekeliruan nyata.
Penafsiran Keonaran Terlalu Luas dan Tidak Terbukti secara Faktual. Dalam putusan hanya dikemukakan adanya "kegaduhan di dunia maya" namun tidak dibuktikan adanya gangguan ketertiban publik dalam arti sebenarnya. Jumlah penonton atau komentar di media sosial yang menimbulkan keonaran bukan alat bukti sah jika tidak diverifikasi melalui ahli forensik (incasu tidak ada uji forensic). Yang dinamakan kegaduhan dalam arti yang sebenarnya adalah kegaduhan yang masif dan sistematis yang dapat mengguncang sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehingga tidak hanya terjadi di suatu tempat tertentu sebagaimana disaksikan oleh saksi saksi yang melihat demo. Pemohon Peninjauan kembali meragukan kesaksian mereka karena tidak ada demo atau kegaduhan yang masif di berbagai wilayah di Indonesia.
Sebelum ada putusan MK Nomor 115/PUU-XXII/2024 yang menyatakan kegaduhan di dunia siber bukan tindak pidana maka terdapat asas asas dalam hukum pidana yang harus ada yaitu efek yang ditimbulkan akan merugikan baik individu ataupun masyarakat luas, namun dalam dunia siber tidak terdapat efek kerugian kepada siapa karena sifatnya tidak nyata oleh karenanya berdasarkan hal tersebut mengenai penafsiran keonaran juga tidak jelas dan menimbulkan ketidak pastian hukum.
Yurisprudensi MA No. 1087 K/Pid/1999, 'keonaran' harus ditunjukkan dengan gangguan fisik nyata terhadap ketertiban umum, seperti kerusuhan atau kekacauan sosial. Komentar media sosial tidak memenuhi unsur tersebut. Kesalahan penilaian ini adalah bentuk nyata dari kekhilafan hakim;
Mubahalah Bukan Tindakan Pidana. Mubahalah adalah praktik keagamaan yang dijamin konstitusi (Pasal 29 UUD 1945), sehingga menyiarkan mubahalah bukan tindak pidana. Mubahalah adalah bentuk sumpah religius dalam Islam dan tidak memiliki maksud pidana. Dalam Putusan MK No. 140/PUU-VII/2009, negara wajib melindungi ekspresi keagamaan. Dengan mengabaikan konteks spiritual dan teologis, hakim telah keliru menilai intensi Pemohon Peninjauan Kembali, yang justru sedang mempertanggungjawabkan pernyataannya secara agama, bukan menyebarkan kebohongan. Ini merupakan kekhilafan yuridis dan melanggar dan membungkam hak konstitusional Pemohon Peninjauan Kembali;
Pasal 55 KUHP Tidak Dapat Diterapkan. Hubungan hukum antara Gus Nur dan Bambang Tri tidak memenuhi unsur penyertaan aktif atau kolusi pidana. Tindakan masing-masing berdiri sendiri. Judex Facti dan Judex Juris menyatakan bahwa Pemohon turut serta melakukan penyebaran video bersama Gus Nur, namun tidak terdapat bukti adanya niat bersama atau kesepakatan melakukan tindak pidana.
Pemohon Peninjauan Kembali hanya datang sebagai narasumber. Menurut teori Prof. Moeljatno yang sejalan dengan Yurisprudensi MA No. 179 K/Pid/2003, penyertaan membutuhkan adanya pembagian peran aktif dan kesengajaan bersama (dolus eventualis). Tanpa keterlibatan teknis atau kontribusi terhadap distribusi konten, tidak bisa dikenakan Pasal 55 KUHP. Judex Factie dan Judex Juris tidak menguraikan motif Pemohon sebagai dasar pertimbangan dalam menjatuhkan pidana. Padahal, motif adalah bagian penting dari penilaian mens rea dan dalam beberapa kasus dapat meringankan tanggung jawab pidana. Oleh karena itu, putusan ini memuat kekeliruan nyata dalam struktur pemidanaan;
Video yang diunggah bukan oleh Pemohon PK. Bambang Tri Mulyono hanya diwawancarai, bukan pemilik atau pengunggah konten, sehingga tidak ada mens rea dan actus reus dari pemohon. Bagaimana dapat dikatakan mempunyai niat jahat (mens rea) ketika Pemohon PK tidak melakukan serangkaian kegiatan yang didakwakan yaitu mengunggah video dengan logika hukum bahwasanya jika Pemohon didakwa pasal penyertaan sedangkan peristiwa mengunggah video yang menimbulkan kegaduhan dilakukan oleh Gus Nur sendiri sedangkan Pemohon PK hanya diwawancarai sebelum video tersebut diunggah, oleh karenanya pemidanaan dengan pasal 55 menjadi tidak adil bagi Pemohon PK karena tidak mempunyai niat sebagaimana didakwakan dalam dakwaan. Demikian juga dengan actus reus dari pemohon PK. Perbuatan fisik Pemohon PK hanya diwawancarai oleh Gus Nur dan disumpah menurut agama Islam akan suatu pernyataan tertentu.
Perbuatan fisik tersebut bukan ditujukan untuk membuat gaduh bangsa dan negara secara nasional, namun hanya sebatas sebagai media dakwah Gus Nur sehingga perbuatan fisik Pemohon PK yang diwawancarai oleh Gus Nur tersebut tidaklah dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Dalam asas individualisasi pidana menurut van Bemmelen, tanggung jawab pidana tidak dapat dibebankan atas perbuatan pihak lain. Pemidanaan terhadap Pemohon Peninjauan Kembali adalah bentuk strict liability yang tidak dikenal dalam hukum pidana nasional Indonesia. Ini adalah kekeliruan serius.;
Tidak Ada bukti Manipulasi Informasi atau Pemalsuan. Isi pembicaraan dalam video merupakan pendapat berdasarkan data yang diyakini pemohon, bukan rekayasa atau kebohongan. Bahkan dapat dikatakan Joko Widodo yang saat itu menjabat sebgai presiden dengan beredarnya isu ijazah palsu melakukan pembiaran opini publik dengan tidak melakukan serangkaian tanggapan atas berita yang beredar dimasyarakat. Joko Widodo terkesan melakukan pemeliharaan konflik dengan cara berdiam diri dan tidak menunjukan kejadian yang sebenarnya dan bukti bukti ijazah asli.
Dikatakan kebohongan jika telah dibuktikan sebaliknya, misalkan dalam hal ini tidak ada satu buktipun akan keaslian ijazah Joko Widodo. Hakim menerima dalil jaksa bahwa ijazah Presiden Jokowi asli tanpa melakukan verifikasi forensik terhadap dokumen tersebut. Pembuktian materiil dalam hukum pidana harus melalui metode ilmiah. Tanpa pemeriksaan forensik terhadap obyek yang disengketakan, tidak dapat dinyatakan bahwa informasi yang disampaikan Pemohon Peninjauan Kembali adalah bohong. Menurut M. Yahya Harahap, pembuktian harus bersifat langsung dan ilmiah. Oleh karena itu, putusan yang berdasar pada asumsi dan tidak dilandasi bukti ilmiah merupakan kekhilafan hakim, oleh karenanya unsur kebohongan dalam pasal kedua yang didakwakan tersebut tidak terbukti;
Peradilan tidak Imparsial karena Aspek Politik yang Kuat. Objek tudingan berkaitan dengan Presiden Republik Indonesia. Perkara ini menyimpan konflik kepentingan sehingga potensi intervensi sangat tinggi. Pemohon PK telah dijatuhi hukuman yang tidak adil dalam konteks peradilan yang agung karena unsur unsur dalam aturan hukum pidana sangat dipaksakan hanya karena faktor faktor politik.
Hampir tidak terjadi dalam Sejarah negara negara warga negara biasa berhadapan langsung dengan penguasa akan meraih kemenangan sehingga peradilan yang agung sebagaimana dicita citakan oleh peradilan di Indonesia belum dapat tercapai. Hal ini penting dalam rangka mempertebal kepercayaan masyarakat pengadilan di Indonesia. Faktor politik inilah yang membuat putusan seakan berbelok menemukan putusan yang mengandung kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, sehingga melaui permohonan Peninjauan Kembali ini putusan menjadi dapat diluruskan sesuai hukum yang berlaku berdasarkan supremasi hukum karena NKRI adalah negara hukum bukan negara kekuasaan;
Ketidakhadiran Penasihat Hukum di Tingkat Banding membuat timpang putusan. Pemohon PK tidak didampingi penasehat hukum dalam tingkat banding di Pengadilan Tinggi Semarang, yang bertentangan dengan prinsip fair trial. Salah satu fungsi Penasehat Hukum dalam sidang pidana selain memperjuangkan hak asasi juga menjadi penjaga regulasi bahkan navigator yaitu menjadi mitra strategis bagi masyarakat luas, regulator dan penegak hukum lainya.
Tanpa Penasehat Hukum regulasi akan diterapkan secara kaku tanpa melihat sisi sosiologis sehingga keadilan tidak akan tercapai sehingga menghasilkan putusan yang otoriter. Hal ini melanggar ketentuan Pasal 56 KUHAP dan Putusan MK No. 006/PUU-IV/2006 yang mewajibkan pendampingan hukum dalam perkara pidana serius. Ketidakhadiran penasihat hukum menyebabkan terganggunya hak pembelaan dan prinsip fair trial. Putusan tingkat banding dan Kasasi menjadi cacat hukum karena terdakwa tidak memperoleh bantuan hukum secara layak. Oleh karena itu, putusan ini mengandung kekhilafan hakim yang nyata dalam menjamin hak konstitusional terdakwa dan perlu dikoreksi dengan Peninjauan Kembali;
Editor : Arif F