Memori Peninjauan Kembali Bambang Tri Mulyono, Lengkap

Putusan Judex Factie dan Judex Juris bertentangan dengan Yurisprudensi Pidana Digital yang menekankan unsur Kesengajaan. Dalam perkara serupa (misal putusan Ratna Sarumpaet), unsur pidana baru terpenuhi ketika terbukti kesengajaan menyebarkan kebohongan untuk keonaran public (secara nyata), namun dalam kasus aquo, kesengajaan tersebut tidak terbukti pada Pemohon PK.
Dalam proses persidangan, dalam pembuktian mengenai unsur kesengajaan dan tanpa hak tidak terdapat keterangan bahwa Pemohon diberi kesempatan menghadirkan saksi ahli yang independen. Hal ini melanggar asas equality of arms sebagaimana dijamin dalam ICCPR dan UU No. 12 Tahun 2005. Ketidakseimbangan proses ini menunjukkan kekhilafan majelis hakim dalam menjaga objektivitas pembuktian.
Oleh karenanya, proses hukum dalam perkara ini menjadi timpang. Judex Factie dan Judex Juris hanya mengutip keterangan digital forensik dari Bareskrim Polri, namun tidak mencatat bahwa saksi ahli yang dihadirkan berasal dari institusi independen. Menurut prinsip pembuktian pidana, ahli seharusnya tidak berasal dari pihak yang secara struktural terkait dengan penuntut umum. Tanpa ahli independen, maka proses menjadi tidak netral. Ini adalah kekhilafan yang menurunkan kualitas keadilan dalam putusan. Oleh karenanya pentingnya Peninjauan Kembali ini menghadirkan ahli yang berkompeten dan netral;
Beberapa hal yang Pemohon Peninjauan Kembali kemukakan tersebut diatas dapat menjadi pertimbangan terhadap alasan pemaaf dan pembenar yang dalam perbuatan pidana melekat pada subyek juga dapat melekat pada obyek. Alasan pemaaf dan pembenar pada dasarnya diatur dalam KUHP namun dalam praktek terdapat beberapa yurisprudensi yang menggunakan alasan pemaaf dan pembenar di luar KUHP lewat SEMA No. 7 Tahun 2012.
Oleh karena Mubahalah adalah praktek keagamaan yang diperbolehkan untuk disiarkan maka demi menjalankan kewajiban agama agar supaya Pemohon PK tidak terkena laknat dari Tuhan maka melakukan praktek sumpah terhadap diri sendiri tanpa mempunyai kesengajaan untuk membuat keonaran atau mendegradasi martabat individu tertentu. Judex Factie dan Judex Juris tidak mempertimbangkan mubahalah sebagai ekspresi spiritual.
Putusan MK No. 140/PUU-VII/2009 mewajibkan perlindungan negara atas ekspresi agama oleh karenanya seharusnya orang yang menjalankan kewajiban agamanya terdapat alasan pemaaf dan pembenar sehingga putusan seharusnya membebaskan dari semua dakwaan;
Putusan 4 tahun dengan denda Rp.400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) dengan penggantian 4 bulan penjara jika denda tidak dibayar merupakan putusan yang sangat tidak adil dan tidak manusiawi pada saat tidak ada kepastian hukum karena putusan mengandung kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. Jika pengadilan menganggap hal itu telah benar maka selayaknya sebagai negara yang beradab hakim lebih memperhatikan rasa keadilan masyarakat daripada menegakan hukum secara kaku yang menghasilkan otoritarian;
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, Pemohon Peninjauan Kembali memohon kepada Mahkamah Agung RI untuk menerima dan mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali ini, serta membatalkan putusan Mahkamah Agung No. 4851 K/Pid.Sus/2023 dan putusan-putusan di bawahnya, dan selanjutnya membebaskan Pemohon Peninjauan Kembali dari segala dakwaan hukum atau setidaknya memberi putusan yang lebih meringankan.
Demikian memori peninjauan kembali ini, atas perhatianya kami ucapkan terima kasih.
Hormat Kami,
Kuasa Hukum Pemohon PK
Pardiman, SH. MH
Dr. Muhamad Edi Santosa, SH. MH
Yakub Chris Setyanto, SH
Editor : Arif F