Peninjauan Kembali
Dasar dasar Peninjauan Kembali ini diajukan atas dasar alasan Pasal 263 ayat (2) KUHAP, terutama pada huruf c: "apabila terdapat kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata." sebagai berikut :
Pelapor bukan Subjek Hukum yang Tepat. Dalam perkara ini, Pelapor pada saat dilakukan penyelidikan/penyidikan bukanlah individu yang menjadi korban langsung, sebagaimana dalam prinsip prinsip hukum.
Pertama, prinsip legalitas yaitu tindakan yang dapat dikenakan sanksi pidana harus jelas diatur oleh undang-undang. Dalam perundang undang ITE mengandung ketidakjelasan siapa yang berhak melaporkan atas tindakan yang merugikan reputasi seseorang, sebagai bukti atas ketidak jelasan tersebut pada tahun 2024 dengan putusan MK nomor 105/PUU-XXII/2024 menegaskan hanya korban individu yang dapat membuat laporan atas perbuatan yang menimbulkan pencemaran nama baik.
Kedua, prinsip keterwakilan, yaitu perbuatan hukum yang secara materiil dianggap merupakan perbuatan pidana manakala terdapat sifat tercela yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Dalam kasus ini, kerugian yang diderita hanya dirasakan oleh individu yang dituju dalam video yang menjadi barang bukti yang telah beredar di masyarakat dunia maya, oleh karenanya Lembaga pemerintah, korporasi, institusi atau kelompok tertentu tidak dapat menjadi pelapor dalam pelaporan pidana tanpa korban yang pada kenyataanya Joko Widodo tidak dihadirkan sebagai saksi korban dan pelapor juga bukan pribadi Joko Widodo.
Ketiga, prinsip perlindungan hak individu. Jika di negara negara yang telah maju pemikiranya menggunakan prinsip perlindungan hak individu sebagai dasar hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, namun di Indonesia, hak individu harus tunduk pada pembatasan aturan hukum sehingga mengurangi nilai nilai dari kemerdekaan dan kebebasan individu sebagai manusia yang ditakdirkan bebas.
Editor : Arif F
Artikel Terkait