Kasus Flame Spa Plus-plus Ancam Identitas Budaya dan Citra Pariwisata Bali

JAKARTA, iNewsMuria - Kasus Flame Spa di Bali, layanan prostitusi yang berkedok spa telah mencoreng citra pariwisata Pulau Dewata. Praktik ini bukan hanya masalah hukum, tetapi juga ancaman serius bagi identitas budaya Bali yang selama ini dikenal dengan kearifan lokalnya.
"Bali selama ini dikenal dengan pariwisata berbasis adat dan budaya, bukan tempat untuk wisata seks," kata pengamat sosial, Gung Pram saat dihubungi awak media, Sabtu (1/3/2025).
Gung Pram menambahkan, jika praktik semacam kasus Flame Spa dibiarkan dirinya khawatir citra Bali akan rusak dan bisa bergeser menjadi destinasi wisata hiburan malam yang jauh dari nilai-nilai kearifan lokal.
Menurut dia, kasus ini mencerminkan kurangnya pengawasan terhadap bisnis hiburan di Bali. Jika tidak ada tindakan tegas, kasus serupa dikhawatirkan akan bermunculan.
"Bukan hanya citra Bali yang dipertaruhkan, tetapi juga masa depan generasi muda," ujar Gung Pram.
"Generasi muda bisa terpengaruh dengan gaya hidup hedonisme yang bertentangan dengan nilai-nilai adat dan budaya kita," sambungnya.
Gung Pram menekankan pentingnya peran aktif desa adat dalam mengawasi bisnis di wilayah mereka. Ia mendesak pemerintah dan desa adat untuk lebih ketat mengawasi praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai Bali. Tercemarnya citra Bali sebagai destinasi budaya akan mengurangi kunjungan wisatawan berkualitas.
Wisatawan datang ke Bali untuk menikmati keindahan alam dan budaya, bukan sekadar hiburan malam. Kasus Flame Spa harus menjadi pelajaran berharga agar Bali tetap mempertahankan pariwisata berbasis budaya dan adat.
"Identitas Bali yang unik dan luhur jangan sampai ternoda oleh praktik-praktik yang merusak," tandasnya.
Editor : Langgeng Widodo