Hari-hari ini kita disuguhi tontonan pejabat negara yang sudah diputuskan melanggar etika oleh majelis kehormatan, tapi tak kunjung malu dan mundur. Juga pejabat korup yang sudah jadi tersangka, tak punya malu, setidaknya menutup wajah, apalagi sampai mundur dan minta maaf. Meski belum tentu divonis bersalah oleh pengadilan (inkracht van gewijsde), setidaknya ia telah terserempet delik kejahatan yang tidak jauh dari kealpaannya dalam melaksanakan tugas-kewenangan jabatan.
Etika seharusnya di atas hukum, lebih didahulukan untuk diperhatikan sebelum hukum. Di atas etika, ada moral, sistem nilai dan sistem keyakinan. Pejabat itu menjadi contoh, jika ia tidak menegakkan etika, maka seolah menjadi pembenar bagi masyarakat untuk ikut melanggar etika.
Selain itu ada fenomena “mengkadali” peraturan, lebih tepatnya mengubah aturan demi kepentingan pribadi, dan bukan demi kepentingan publik, hanya demi tetap bertahan dalam jabatan, kendati mengikuti kontestasi pemilu. Meski akhir-akhir ini banyak terjadi hal itu bukan hanya berkaitan soal pemilu. Dalam berbagai teori kebijakan publik, perumusan dan perubahan suatu kebijakan harus berdasarkan isu, masalah, dan kepentingan publik, yang dirumuskan dengan didahului proses analisis-evaluasi yang kompleks secara intelektual (akademis), bukan hanya karena kepentingan minor pejabat negara.
Menurut Lasswell (1971), ada lima tugas intelektual sebelum memutuskan suatu kebijakan, yaitu klarifikasi tujuan (goal clarification), mendeskripsikan masalah yang mendorong dirumuskannya kebijakan (trend description), menganalisis keadaan yang mungkin akan terpengaruh oleh masalah yang mendorong dirumuskannya kebijakan (analysis of conditions influencing trend), memproyeksikan pengembangan selanjutnya (projection of future developments), serta menemukan, mengevaluasi, dan memilih alternatif kebijakan (invention, evaluation, and selection of alternatives).
Teori itu lenyap di hadapan kepentingan pribadi penguasa pejabat. Bahkan para penguasa pejabat itu ber-title akademis yang tinggi. Peraturan diubah sekehendak mereka sendiri.
Salah satu cawapres (yang juga tidak mundur dari jabatan meski ditetapkan sebagai cawapres, untuk minimal menunjukkan sikap sportif sebagaimana amanat ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001), berpidato mengenai TAP MPR dan viral, meski beliau salah sebut tahun ditetapkannya (seharusnya tahun 2001, beliau sebut tahun 2000).
Dalam BAB II mengenai Pokok-Pokok Etika Kehidupan Berbangsa halaman 205 pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa menyebutkan, etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberi pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.
Selanjutnya pada halaman 206 menyebutkan bahwa etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Kemudian fenomena terkini yang terjadi, terdapat Menteri yang katanya “professional” melakukan aksi gimmick-gesture seolah dimaknai mendukung salah satu pasangan calon presiden/wapres, dengan rela disebut namanya dan hadir di HUT salah satu partai besar, salam metal/tiga jari, dan pembiaran sejumlah pernyataannya yang berpotensi menguntungkan salah satu paslon dan merugikan paslon yang lain.
Ternyata tidak hanya satu Menteri yang katanya “professional”, lebih dari satu Menteri yang melakukan aksi gimmick-gesture seolah mendukung salah satu paslon capres/cawapres. Hal itu masih dirasa “mendingan” dibandingkan menteri dan kepala daerah yang nyata-nyata menjadi capres/cawapres. Aduhai rusaklah negara ini jika begitu. Ke siapa lagi ASN dan aparatur TNI/Polri berkiblat dan mencontoh yang beretika, jika sudah terjadi begitu.
Rusaknya etika publik itu dimulai dari kepala, bagaikan ikan busuk kepalanya dahulu. Maka perbaiki etika bernegara mulai dari kepala negara. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyebut, Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan, maka harus memegang etika pemerintahan sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 lebih dahulu sebelum seluruh pejabat pemerintahan yang lain di bawahnya. Pun demikian, dalam peranannya sebagai kepala negara.
Di sisi ASN (PNS dan PPPK) dan TNI/Polri, mereka diperintah untuk bersikap netral, atau menjaga netralitas Pemilu 2024 ini. Namun, dengan tontonan yang selalu dilihat, para pimpinan Kementerian/Lembaga dan pimpinan pemerintah daerah (gubernur/bupati/walikota) melakukan aksi ketidaknetralan. Maka maklumlah jika terjadi aksi untuk meniru. Kita mendapati sejumlah ekspose berita, di mana PNS, TNI/Polri, bahkan PPPK melakukan aksi ketidaknetralan. Belum lagi bagaimanakah kenetralan pejabat BUMN dan BUMD? Masyarakat mesti mengawasi dan mengkritisi.
Kita semua berharap negara ini selamat, tidak terkotak-kotak, tidak terbelah. Hanya etika dan moral lah yang bisa menjadi sandaran kita bersama. Untuk para pejabat negara yang terlibat atau terserempet politik praktis, mari mundurlah dari jabatan. Pak Prabowo, Pak Mahfud, Bu Sri Mulyani, Pak Basuki, Pak Gibran, dan lainnya yang nyata-nyata mendukung atau berkontestasi, mundurlah dari jabatan. Semoga selamat negara ini. (Werdha Candratrilaksita, Pemerhati Kebijakan Publik, Mahasiswa Program Doktor Administrasi Publik Universitas Diponegoro)
Editor : Langgeng Widodo