Tim PISN Usahid Surakarta Luncurkan Program Pemberdayaan Desa Tlingsing Berbasis Kearifan Lokal

Langgeng Widodo
Program Inovasi Seni Nusantara. Foto : Langgeng Widodo.

KLATEN,InewsMuria.

-Di era percepatan digital dan komersialisasi produk budaya, banyak kerajinan lokal Indonesia berada pada persimpangan penting antara tradisi dan inovasi. Perubahan pola konsumsi masyarakat yang semakin bergantung pada platform daring menuntut para pelaku UMKM, termasuk pengrajin budaya, untuk memperbarui strategi pemasaran dan pengemasan produk mereka.

Desa Tlingsing, salah satu desa penghasil tenun lurik di Kabupaten Klaten, menjadi contoh nyata bagaimana produk lokal yang kaya sejarah dan kearifan dapat terpinggirkan apabila tidak melakukan adaptasi dengan perkembangan teknologi.

Nah, di tengah tantangan tersebut, diperlukan pendekatan baru yang tidak hanya melestarikan nilai budaya, tetapi juga memperkuat identitas visual dan daya tarik produk di pasar modern. Sebuah inisiatif transformasional hadir melalui PISN (Program Inovasi Seni Nusantara) 2025 Universitas Sahid Surakarta yang berupaya menjembatani tradisi dan inovasi melalui integrasi ilustrasi Wayang Beber, motif tenun lurik, dan sistem smart packaging sebagai strategi revitalisasi ekonomi dan budaya desa.

"Program ini lahir dari kebutuhan nyata masyarakat Tlingsing terutama kelompok pengrajin kain lurik Rukun Makmur Desa tlingsing untuk memperkuat kehadiran produk lurik di pasar yang semakin kompetitif," kata ketua Program PISN 2025 ini dipimpin oleh Ketua Tim Pelaksana Evelyne Henny Lukitasari, Senin (17/11/2025).

Pada kondisi sebelumnya, para pengrajin lurik menghadapi permasalahan serius seperti kemasan yang sederhana, tidak mencerminkan identitas budaya lokal, serta minimnya kemampuan digital untuk memasarkan produk secara daring. Di tengah kompetisi produk tekstil modern, lurik tradisional kehilangan daya saing meski memiliki nilai sejarah dan estetika yang tinggi. 

"Masalah-masalah tersebut kemudian menjadi latar belakang mengapa program PISN Universitas Sahid Surakarta memusatkan perhatian pada integrasi desain tradisional dan teknologi barcode e-commerce sebagai solusi kreatif," kata dosen desain komunikasi visual yang berpengalaman dalam riset visual branding, semiotika dan integrasi desain tradisional.

Sebagai desa yang memiliki akar sejarah kuat dalam produksi tenun lurik, Tlingsing sebenarnya memiliki modal budaya yang besar. Motif lurik tidak hanya sekadar pola garis, tetapi mengandung filosofi mendalam yang diwariskan secara turun-temurun. 

Begitu pula dengan Wayang Beber, sebuah karya visual naratif tradisional yang menjadi kekayaan ikonografis Jawa. Integrasi dua aset budaya ini menjadi kunci dari pendekatan PISN 2025, karena keduanya merepresentasikan nilai-nilai lokal yang dapat diterjemahkan ke dalam identitas visual kemasan modern. 

"Pemilihan Wayang Beber bukan tanpa alasan; bentuk ilustratifnya yang naratif sangat cocok dijadikan visual storytelling dalam web e-comerce yang terdapat pada batcode di smart packaging produk sehingga mampu menyampaikan cerita budaya yang kaya secara estetika dan informatid," jelasnya.

Sebagai ketua tim program PISN 2025, Evelyne Henny Lukitasari didampingi beberapa koleganya sebagai tim pelaksana, yakni :

1. Erna Indriastiningsih, ST, MT — ahli teknik yang mendukung aspek teknis bahan dan struktur kemasan, serta e-commerce.
2. Ahmad Khoirul Anwar, S.Sn., M.Sn - desainer yang mengolah ilustrasi dengan mengadabtasi visual layout Wayang Beber agar adaptif secara visual.
3:Farid Fitriyadi, S.Kom, M.Kom— pakar informatika yang menangani integrasi barcode, landing page, dan sistem e-commerce.

"Tim pelaksana lintas bidang ini dirancang untuk memastikan seluruh aspek, mulai dari desain, teknologi, hingga narasi budaya, dapat berjalan selaras dalam mendukung pengrajin," ungkap Evelyne Henny Lukitasari.

Pelaksanaan kegiatan program dimulai dengan sosialisasi kepada kelompok pengrajin Tenun Lurik Rukun Makmur, mitra utama yang selama ini memproduksi lurik secara tradisional menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM). Tahap awal ini dilakukan untuk mengetahui kondisi riil, kebutuhan, serta kendala yang dihadapi para pengrajin.

Melalui observasi lapangan, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok, tim menemukan beberapa masalah mendasar yang dialami pengrajin, seperti rendahnya daya tarik visual produk akibat kemasan yang masih konvensional, kurangnya diferensiasi antara lurik Tlingsing dan lurik daerah lain, serta keterbatasan literasi digital pengrajin untuk memasarkan produk secara mandiri di platform e-commerce.

Temuan tersebut kemudian dirumuskan menjadi tiga prioritas masalah utama :

*. Kemasan tidak mencerminkan identitas budaya Tlingsing,
*. Visual produk kurang menarik dan tidak memiliki narasi budaya,
*. Minimnya akses dan kapabilitas pengrajin dalam pemasaran digital.

"Rumusan ini menjadi landasan metode pelaksanaan yang menggunakan pendekatan Design Thinking. Pendekatan ini relevan karena mampu menghasilkan solusi yang teruji secara kreatif, berorientasi pengguna, dan berbasis kolaborasi langsung antara tim dan masyarakat."

Pada tahap Ideate, tim mengadakan sesi co-creation yang melibatkan pengrajin untuk menyusun konsep visual kemasan berbasis ilustrasi dengan mengadabtasi visual layout Wayang Beber yang telah diadaptasi agar lebih modern, jelas, dan mudah diaplikasikan pada permukaan kemasan.

Motif lurik Tlingsing digunakan sebagai elemen pendukung agar identitas lokal semakin kuat. Melalui proses kreatif ini, lahirlah beberapa konsep kemasan dengan tata letak visual yang memadukan pola lurik, garis cerita Wayang Beber, dan ruang khusus untuk barcode digital. "Kehadiran barcode ini memungkinkan pembeli mengakses marketplace hanya dengan memindai kemasan menggunakan ponsel," ungkapnya.

Tahap berikutnya adalah Prototyping, di mana tim memproduksi prototipe kemasan dan memberikan pelatihan intensif mengenai fotografi produk, editing gambar, penulisan deskripsi produk yang menarik, hingga cara mengunggah produk ke marketplace. Pengrajin diberikan pelatihan langsung agar mampu mengelola konten digital mandiri.

Selain itu, tim informatika mengajarkan cara membuat dan menautkan barcode ke halaman marketplace serta membuat landing page produk yang mampu memuat galeri foto, narasi budaya, dan informasi pembelian. Hasil pelaksanaan program mulai terlihat ketika prototipe smart packaging diuji coba melalui unggahan produk di e-commerce lokal.

Dari pengamatan tim, respons konsumen menunjukkan peningkatan ketertarikan terhadap kemasan yang menggambarkan cerita budaya. Calon pembeli merasa tertarik karena kemasan tidak hanya menjadi pelindung fisik, tetapi juga sebagai sarana storytelling yang menghubungkan mereka dengan kekayaan tradisi.

"Efektivitas barcode juga diuji dengan mencatat jumlah pemindaian dan klik menuju web e-commerce Rukun Makmur yang menunjukkan data positif selama uji coba," kata Evelyne Henny Lukitasari.

Selain meningkatkan visual produk dan pemasaran digital, program ini berhasil meningkatkan rasa bangga budaya di kalangan pengrajin. Mereka mengaku lebih percaya diri karena karya mereka kini tidak hanya dijual sebagai produk tekstil, tetapi sebagai representasi identitas lokal yang kuat.

Ilustrasi dengan mengadabtasi visual layout Wayang Beber yang diperbarui, motif lurik yang digunakan, serta pendekatan smart packaging menjadi simbol bahwa tradisi dapat menyatu dengan inovasi modern tanpa merusak esensi budaya.

Dari sisi pemberdayaan, program PISN 2025 membuktikan bahwa dengan pelatihan yang tepat, pengrajin di desa sekalipun mampu beradaptasi dengan teknologi. Pengrajin laki-laki dan perempuan terlibat aktif dalam sesi pelatihan dan proses co-creation. 

"Mereka belajar mengenali nilai jual produk mereka, menyesuaikan strategi pemasaran, dan memanfaatkan teknologi sebagai jembatan antara budaya dan pasar modern," jelasnya.

Namun program tidak berjalan tanpa kendala. Beberapa pengrajin awalnya menunjukkan resistensi terhadap penggunaan teknologi barcode karena beranggapan bahwa hal tersebut rumit dan menambah biaya produksi. Tantangan lainnya adalah proses logistik dari desa ke pusat distribusi e-commerce yang memakan waktu karena infrastruktur transportasi lokal belum optimal.

Selain itu, proses produksi lurik yang lambat dan membutuhkan ketelitian tinggi membuat jumlah produk yang dapat dipasarkan tidak selalu sebanding dengan permintaan.

Meski demikian, tim pelaksana menyiapkan langkah lanjutan untuk mengatasi hambatan tersebut. Tim berencana memperluas pelatihan digital kepada lebih banyak pengrajin, memperkuat kerja sama dengan platform e-commerce nasional, serta melibatkan generasi muda desa agar tercipta regenerasi pelaku digital marketing desa.

Rencana lainnya adalah menyusun ulang desain berdasarkan umpan balik konsumen, meneliti dampak jangka panjang terhadap pendapatan pengrajin, serta membuat materi edukasi khusus bagi konsumen untuk meningkatkan apresiasi terhadap nilai budaya Wayang Beber dan lurik Tlingsing.

"Dengan pendekatan yang menyatukan seni, teknologi, dan pemberdayaan masyarakat, program ini membuktikan bahwa kearifan lokal tidak hanya dapat dilestarikan, tetapi dapat menjadi motor penggerak ekonomi kreatif desa," pungkasnya.

"Melalui integrasi visual Wayang Beber, motif lurik, dan smart packaging berbasis barcode, Desa Tlingsing kini memiliki model inovatif dalam membangun identitas wilayah yang kuat, relevan, dan kompetitif di era digital."

Editor : Arif F

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network