OJK Evaluasi Kinerja BPR dan BPRS di Solo Raya, Ini Hasilnya
SOLO,iNewsMuria.id-Selama tahun 2025 terdapat beberapa kasus penyalahgunaan yang terjadi di BPR/S di Solo Raya. Diantaranya, penarikan dana tanpa sepengetahuan nasabah, talangan angsuran, kredit fiktif/topengan, penyalahgunaan jemput bola dan pelanggaran prinsip kehati hatian.
Dari beberapa kasus penyalahgunaan tersebut, kata Kepala Otoritas Jasa Keuangan / OJK Solo Eko Hariyanto, ada yang dapat terselesaikan di internal BPR/S. Namun beberapa diantaranya ada yang harus melalui proses di pengadilan umum/ tipikor.
"Kami ingatkan agar BPR/BPRS senantiasa meningkatkan kepatuhan pada peraturan yang berlaku dan
menjalankan kegiatan dengan senantiasa berpedoman pada
prinsip kehati-hatian," kata Eko Hariyanto.
Hal itu dikatakan ketika memberi sambutan dalam “Evaluasi Kinerja BPR dan BPRS di Wilayah Kerja Kantor OJK Solo Semester II Tahun 2025”, Rabu (19/11/2025).
Sejumlah pejabat publik dihadirkan dalam kegiatan evaluasi tersebut untuk memberi pemahaman pada pengelola BPR/BPRS agar kinerjanya makin baik. Yakni, Kepala Kejaksaan Negeri Surakarta.Dr Supriyanto, Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Surakarta, dan Ketua Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) DPD Jawa Tengah, Bapak M. Nur Rokib.
Hadir pula dalam kesempatan itu, Ketua Perbarindo DPKom Solo Raya Titon Darmasto, Ketua Himbarsi Solo Raya Fakhruddin Nur, serta sejumlah Direksi dan para Pemegang Saham BPR/BPRS di Solo Raya.
Penyelesaian Kredit Bermasalah
Selain terkait masalah penyalahgunaan, dalam kesempatan itu Eko Hariyanto juga mengungkap masih tingginya angka kredit bermasalah atau NPL (nonperforming loan). Eko mengatakan, pada posisi Oktober 2025 rasio NPL BPR/BPRS di Solo Raya mencapai 14,05%. Hal tersebut perlu tindak lanjut dan penyelesaian oleh BPR/BORS.
Menurut dia, penyelesain kredit bermasalah dapat melalui Penjadwalan Ulang (Rescheduling), Persyaratan Kembali (Reconditioning), Penataan Kembali (Restructuring) jika debitur masih memiliki prospek usaha dan kemampuan bayar.
Jika debitur tidak memiliki prospek usaha dan kemampuan bayar, maka penyelesaikan kredit bermasalah dapat melalui eksekusi agunan. "Eksekusi agunan dapat dilakukan oleh debitur sendiri atau melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang atau KPKNL," katanya.
Analisis Kredit
Agar tidak muncul angka NPL yang begitu tinggi, maka analisis kredit harus cermat. Eko mengatakan, analisis kredit adalah upaya untuk menghindari risiko kredit yang disebabkan oleh ketidakmampuan debitur dalam membayar pinjaman.
Artinya, setiap permohonan kredit harus melewati tahap penilaian dan analisis mendalam. Secara sederhana, analisis kredit dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip 5C yang mencakup lima penilaian, yakni Character, Capacity, Capital, Collateral, dan Condition.
"Salah satu faktor analisis kredit adalah Collateral, dimana debitur
harus memiliki agunan baik berupa barang bergerak atau barang
tidak bergerak, yang mana dalam analisis kredit perlu dilakukan
penilaian atas agunan yang akan diberikan debitur," kata Eko.
"Masih terdapat beberapa BPR/S yang tidak melakukan kerjasama
dengan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) sehingga penilaian agunan dilakukan oleh internal BPR, hal ini perlu mendapat perhatian dan dimitigasi dengan baik mengingat diperlukan SDM yang professional dibidangnya dalam melakukan penilaian barang jaminan."
Modal Inti
Dalam kesempatan itu, Eko Hariyanto juga mengungkap masih banyaknya BPR/BPRS yang belum memenuhi modal inti. Berdasarkan hasil pengawasan OJK sampai posisi Oktober 2025, masih terdapat 11 BPR/BPRS belum memenuhi dan/atau mengalami penurunan modal inti di bawah Rp 6 miliar.
Oleh karena itu, pihaknya kembali mengingatkan kembali kepada BPR/BPRS, khususnya para pemegang saham yang turut hadir, untuk segera merealisasikan langkah-langkah pemenuhan modal inti sesuai action plan dan melakukan upaya penguatan modal lainnya.
"Dukungan permodalan yang kuat dari pemegang saham akan meningkatkan daya saing dan tata kelola BPR/BPRS sehingga mampu menyerap risiko atas tingginya persaingan usaha
sektor jasa keuangan," tandasnya.
Kinerja BPR/BPRS
Terlepas dari permasalahan yang dihadapi, kata Eko Hariyanto, kinerja 70 BPR/BPRS di Solo Raya masih sangat bagus. Sampai posisi Oktober 2025, BPR/BPRS di Solo Raya
mampu mencatatkan pertumbuhan positif dengan total aset meningkat 10,21% (YoY) dari Rp 12 triliun menjadi Rp 13,23 triliun.
Untuk September 2025 pertumbuhan aset 4,24% di atas pertumbuhan aset BPR/BPRS di Jawa Tengah yakni 1,46% meski masih di bawah angka nasional 7,85%. Total aset BPR di Solo Raya berkontribusi hingga 22,46% dari total aset BPR/BPRS di Jateng.
Dana Pihak Ketiga (DPK) meningkat 14,75% (YoY) dari Rp 9,84 triliun menjadi Rp 11,23 triliun. September 2025 pertumbuhan DPK Solo Raya yaitu sebesar 4,24% di atas Jawa Tengah 1,90% dan Nasional 2,79%.
4. Sedangkan kredit yang diberikan meningkat 4,91% (YoY) dari Rp 9,64 triliun menjadi Rp10,11 triliun. Untuk September 2025 pertumbuhan Kredit Solo Raya 4,99% lebih tinggi dari Jawa Tengah 0,75%, namun masih di bawah angka nasional 5,43%.
Penyaluran kredit berdasarkan sector ekonomi didominasi pada
Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi dan Perawatan
Mobil dan Sepeda Motor dengan porsi 27,57%, selanjutnya yaitu
sector ekonomi bukan lapangan usaha lainnya sebesar 20,88%.
"Terkait pertumbuhan DPK yang lebih rendah dibanding pertumbuhan kredit yang diberikan, perlu mendapat perhatian, bahwa loan to deposit ratio (LDR) meningkat secara YoY dari
97,51% pada Oktober 2024 menjadi 98,35% pada Oktober 2025, sehingga diperlukan strategi menurunkan LDR ke tingkat yang lebih sehat agar risiko likuiditas tetap terjaga.(*)
Editor : Arif F