SOLO, iNewsMuria.id - Tingginya kebutuhan hidup sehari-hari, terkadang harus memaksa seorang wanita yang menjadi ibu rumah tangga memutuskan untuk bekerja guna mendapatkan nafkah.
Namun seringkali keputusan seorang ibu rumah tangga untuk bekerja ini, memicu banyak perdebatan terkait hukum yang mendasarinya, terutama dari aspek syariah.
Terkait hal ini, Pakar Ekonomi Syariah UMS, Muhammad Sholahuddin, S.E., M.Si., Ph.D., perempuan yang bekerja itu hukumnya boleh, namun bukan sebagai kewajiban dalam mencari nafkah.
"Perempuan tidak diwajibkan untuk mencari nafkah, namun jika perempuan ingin berkarir untuk aktualisasi diri, harus seizin dengan siapa yang menanggung dia. Kalau belum bersuami harus dapat izin dari bapaknya, kalau sudah tidak memiliki bapak harus izin ke saudara laki laki, namun jika sudah bersuami ya izin ke suaminya," kata Sholahuddin, Kamis, 4 April 2024.
Jika wanita, lanjut dia, bekerja yang berniat untuk membantu suami, ibu, bapak, adik, itu merupakan amal shaleh.
"Seorang istri yang mempunyai nafkah sendiri kemudian memilih di sedekahkan ke suaminya, merupakan amal shaleh. Namun, jika suami yang memberikan kepada istri itu termasuk nafkah dan wajib," lanjutnya, yang juga sebagai Sekprodi Program Studi Magister Manajemen UMS itu.
Sholahuddin memberikan contoh ketika seorang suami sakit keras dan tidak bisa bekerja kemudian istri meminta izin kepada suami untuk bekerja. Jika suami tidak mengijinkan istrinya untuk bekerja, maka yang wajib menafkahi suami yang sakit itu saudara laki laki dari suami.
"Jika istri diizinkan untuk bekerja, maka pahala dari istri sangat besar sekali, karena dia melakukan apa yang bukan menjadi kewajibannya sebagai pencari rezeki," lanjutnya.
Ia juga menuturkan, menurut pandangan Islam sesuai dengan sunnah dan hadist untuk istri yang ingin bekerja, sebaiknya bekerja yang tidak sampai meningglkan kewajibannya sebagai ibu dan pengelola rumah tangga.
"Di zaman Rasulullah SAW, perempuan kebanyakan melakukan aktivitas di rumah, kalau toh di luar rumah biasanya aktifitas yang tidak bisa dilakukan seorang laki laki, contohnya buka warung, restoran, yang suaminya juga bekerja di situ juga," kata Sholahuddin.
Hal tersebut menandakan bahwa memang perempuan dibolehkan untuk bekerja, bahkan berkarir sebagai direktur, manajer, maupun rektor.
"Yang terjadi permasalahan itu ketika perannya sebagai ibu dan pengelola rumah tangga terabaikan," pungkasnya. (*)
Editor : Langgeng Widodo