Rumah Ilmu yang Retak dari Dalam

Tim iNews Muria
Dr Purbayakti Kusuma Wijayanto.

iNewsMuria.id-PUBLIK akademik Indonesia dikejutkan oleh rilis Research Integrity Risk Index (RI2). Pemetaan berbasis data yang menunjukkan bahwa 13 perguruan tinggi di Indonesia masuk dalam kategori resiko tinggi dalam hal integritas riset dan publikasi ilmiah. Nama-nama besar pun ikut terseret. Temuan ini jadi peringatan, kampus-kampus kita terjebak dalam produksi ilmiah yang serba instan, formalitas, dan minim integritas.

Krisis integritas ini sejatinya tidak hanya terjadi di kampus besar. Di kampus menengah ke bawah pun, indikasinya juga nyata, meskipun bentuknya berbeda. Kampus besar terjerat dalam pusaran publikasi internasional, sedangkan kampus menengah dan kecil justru tersandera oleh formalitas akademik dan keterbatasan kapasitas. Skripsi mahasiswa dikerjakan asal-asalan, artikel ilmiah dibuat sekedar memenuhi syarat kelulusan, tanpa telaah metodologis yang memadai.

Kedua bentuk ini berbeda rupa, tapi berangkat dari akar yang sama.  Tekanan sistemik menjaga citra institusi. Di kampus besar, citra ditakar dari peringkat dan indeks publikasi. Di kampus menengah ke bawah, citra dijaga dengan angka kelulusan tinggi dan tepat masa studi. Maka, demi akreditasi dan laporan kinerja, banyak perguruan tinggi terjebak dalam jebakan serupa. Memproduksi karya ilmiah yang secara kuantitas mungkin mengesankan, tapi secara kualitas memprihatinkan.

Skripsi Asal Jadi, Nilai Tetap Tinggi

Di banyak perguruan tinggi, terutama yang menengah ke bawah, terdapat sebuah paradoks mencolok. Kualitas skripsi mahasiswa lemah, tapi nilai yang diberikan tetap tinggi. Banyak dosen, yang mungkin karena beban kerja, tekanan akreditasi, atau sekedar rasa kasihan, meloloskan skripsi yang sebetulnya belum layak disebut ilmiah. Argumen tidak runut, metodologi asal tempel, kutipan tanpa sumber yang jelas, dan banyak kesalahan penulisan. Tapi nilai akhir? A atau B+.

Apa yang sebenarnya sedang kita pertahankan? Jika Pendidikan tinggi adalah rumah tempat menempa nalar dan integritas, mengapa kita terus-menerus menyetujui karya-karya yang menipu diri-sendiri?

Lebih ironis lagi, mahasiswa didorong mempublish artikel ilmiah sebagai syarat kelulusan. Tanpa bimbingan memadai, artikel itu hanya menjadi formalitas belaka. Agar bisa terbit di jurnal yang berindeks, mahasiswa menyerahkan artikel kepada penerbit abal-abal, atau bahkan menggunakan jasa penulisan bayaran. Kita tahu ini terjadi. Akan tetapi, kita tetap diam.

Kampus Menjadi Institusi yang Permisif

Budaya permisif berkembang dan masuk ke dalam sistem.  Program studi tidak ingin berurusan dengan mahasiswa yang tertunda lulus hanya karena skripsinya tidak selesai. Maka tekanan administratif pun datang. Segera bimbing, segera sidang, segera luluskan. Padahal, kompetensi ilmiahnya yang rapuh.

Tak jarang pula, sidang skripsi atau tesis berubah menjadi seremoni belaka. Tidak ada kritik substansial. Tidak ada dorongan untuk memperbaiki. Yang penting adalah checklist administrasi. Hadir, presentasi, jawab, selesai. Maka bukan mustahil bila mahasiswa yang bahkan belum paham perbedaan antara “data primer” dan “data sekunder” bisa lulus dengan predikat “sangat memuaskan”.

Reformasi Akademik Dimulai dari Meja Dosen

Pertanyaan mendasar yang perlu kita ajukan adalah apa peran dosen di tengah krisis ini? Apakah cukup hanya mengikuti arus sistem? Ataukah kita masih punya kekuatan untuk menegakkan kejujuran ilmiah di lingkup terkecil, yaitu di meja pembimbingan?

Reformasi akademik bukan melulu soal regulasi dari atas. Ia bisa dimulai dari dosen yang menolak meluluskan skripsi yang buruk, meskipun akan memperpanjang masa studi mahasiswa. Ini bisa dimulai dari program studi yang bersedia menunda jadwal yudisium untuk menjaga kualitas ilmiah mahasiswa. Ini bisa dimulai dari berkata, “Kita tidak akan kompromi dengan karya asal-asalan.”

Tentu ini bukan perkara mudah. Akan ada tekanan. Akan ada keluhan dari mahasiswa, orangtua, bahkan birokrat kampus. Bila semua orang menyerah pada tekanan, lalu siapa yang akan menjaga Marwah ilmu pengetahuan?

Kita Butuh Ekosistem, Bukan Target Kosong

Solusi jangka panjang tak cukup hanya dengan menambah regulasi atau menegur perguruan tinggi yang masuk daftar RI2. Kita butuh perubahan budaya akademik. Butuh ekosistem yang mendorong pembelajaran substansial, bukan kejar tayang publikasi. Butuh sistem penjaminan mutu yang berani mengatakan “lebih baik sedikit tapi bermutu” daripada “banyak tapi semu.”

Perguruan tinggi harus berhenti mengejar jumlah artikel terbit jika tidak disertai kualitas. Harus berhenti meluluskan mahasiswa hanya karena tenggat waktu. Dan harus berani membangun budaya diskusi, pembimbingan mendalam, dan penghargaan terhadap proses ilmiah yang jujur.

Ilmu pengetahuan tidak lahir dari kejar target. Ia tumbuh dari kejujuran intelektual. Dan jika dunia kampus kehilangan itu, maka ia tak lagi layak disebut sebagai universitas.

Menjaga Rumah Ilmu dari Runtuhnya Marwah

Kita memang tidak bisa mengubah semuanya sekaligus. Namun, kita bisa mulai dari satu langkah kejujuran di ruang kecil. Di meja dosen yang menolak meluluskan skripsi asal jadi. Di forum akademik yang berani mengoreksi artikel asal terbit. Di program studi yang memberi waktu lebih untuk karya yang sungguh-sungguh.

Kampus adalah rumah ilmu. Rumah ini kini sedang retak dari dalam, bukan oleh gempa dari luar, melainkan oleh keletihan menjaga prinsip dan tergodanya kita untuk bersiasat demi capaian administratif.

Bukan demi akreditasi. Bukan demi rangking. Namun, demi martabat kita sendiri sebagai bangsa yang tak rela menyerahkan masa depan pada kebohongan yang dilegalkan oleh sistem. (Dr Purbayakti Kusuma Wijayanto, Dosen dan Pemerhati Integritas Akademik)

Editor : Arif F

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network