JAKARTA, iNewsMuria – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) pada Rabu (18/6/2025). Sidang ini fokus mendengarkan keterangan dari DPR serta ahli dan saksi pemohon terkait Perkara Nomor 142/PUU-XXII/2024.
Perkara ini secara spesifik menguji Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, yang mengatur pidana bagi perbuatan melawan hukum yang merugikan negara dan menguntungkan pihak tertentu. Ambiguitas dalam pasal-pasal ini menjadi sorotan utama dalam persidangan.
Adapun bunyi Pasal 2 ayat (1) adalah, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”, dan Pasal 3 UU Tipikor berbunyi, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
Chandra M Hamzah, mantan Wakil Ketua KPK, dihadirkan sebagai ahli dan menjelaskan problematika Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Menurutnya, pasal tersebut terlalu luas hingga berpotensi menjerat "penjual pecel lele di trotoar" sebagai pelaku korupsi.
Chandra memaparkan bahwa penjual pecel lele yang berjualan di trotoar dianggap "setiap orang" yang melakukan "perbuatan melawan hukum" dan "memperkaya diri sendiri." Aktivitas tersebut juga dapat diinterpretasikan "merugikan keuangan negara" karena merusak fasilitas publik, sehingga memenuhi unsur-unsur korupsi.
"Maka penjual pecel lele adalah bisa dikategorikan, diklasifikasikan melakukan tindak pidana korupsi," tegas Chandra di Ruang Sidang Pleno MK. Ia juga menyoroti Pasal 3 UU Tipikor yang memuat frasa "setiap orang", padahal esensi korupsi cenderung melibatkan kekuasaan atau jabatan.
Chandra menyimpulkan bahwa Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor sebaiknya dihapus karena rumusan deliknya melanggar asas lex certa (kejelasan hukum). Ia juga merekomendasikan revisi Pasal 3 UU Tipikor dengan mengganti frasa "setiap orang" menjadi "Pegawai Negeri dan Penyelenggara Negara", sejalan dengan rekomendasi UNCAC.
Senada dengan itu, Amien Sunaryadi, mantan Wakil Ketua KPK, juga menyoroti bias penegakan hukum yang lebih banyak mengejar korupsi jenis kerugian negara daripada suap, padahal suap lebih dominan. Permohonan uji materi ini diajukan oleh Syahril Japarin, Kukuh Kertasafari, dan Nur Alam, yang merasa pasal-pasal tersebut dapat menjerat mereka tanpa unsur niat jahat.
Editor : Arif F
Artikel Terkait