SEBAGAI kota pelabuhan, Jepara diperkirakan sudah eksis sejak zaman kuno, meski belum bisa dipastikan kapan berdiri. Seperti disebut Tim Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) pada Citra Kabupaten Jepara dalam Arsip (2017), daerah yang sekarang dikenal sebagai Jepara dulu adalah bagian dari Kerajaan Kalingga, yang eksis pada abad ke-7 hingga abad ke-10.
Ketika Kerajaan Hindu itu diperintah raja perempuan bernama Ratu Shima, Jepara adalah kota pelabuhan yang cukup ramai dalam pelayaran, perniagaan, perdagangan, dan menjadi salah satu pintu gerbang masuknya berbagai pengaruh asing. Kapal-kapal niaga asing berdatangan dari India, Arab, Tiongkok, termasuk Kamboja.
Namun Jepara menjadi sangat terkenal sebagai kota pelabuhan justru di era Kerajaan Islam. Dalam manuskrip Suma Oriental karya Tome Pires, ada penjelasan bahwa Jepara cukup masyhur sebagai kota pelabuhan di paruh akhir abad ke-15. Tome Pires menyebut Jepara, ketika itu, dilukiskan dikelilingi benteng bambu dengan pantai yang terlindung pulau-pulau kecil. Karenanya, Jepara juga disebut sebagai salah satu pelabuhan terbaik di Nusantara.
Selain sebagai pelabuhan dagang, Jepara adalah salah satu pangkalan angkatan laut pada era Kesultanan Demak. Ketika dipimpin Ratu Kalinyamat yang juga salah satu panglima perang Kesultanan Demak, yang masyur dengan armada laut, Jepara mencapai puncak kejayaan.
Sebagai penguasa, pada saat itu Ratu Kalinyamat membangun sarana dan prasarana pelabuhan yang sangat strategis. Infrastruktur itu bertahan hingga dalam perjanannya kemudian dimanfaatkan VOC Belanda. Setelah disepakatinya Pejanjian Ponorogo antara Mataram dan VOC pada 1743. Sejak itu, Jepara dan wilayah pesisir lainnya, seperti Surabaya, Rembang, Blambangan, dan Madura menjadi daulat kolonialisme Belanda.
Suasana Menyenangkan
Dalam bukunya "Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I" (1987), sejarawan Belanda H.J. De Graaf menjelaskan tentang suasana yang menyenangkan di Jepara pada abad ke-16 hingga abad ke-17.
Belanda melalui VOC mendirikan kantor dagang pada tahun 1613 di kota itu, disusul Inggris tahun 1618. Hanya saja, kehadiran EIC-kongsi dagang Inggris di Jepara tak disukai Belanda. Puncaknya tahun 1632, beberapa titik kota pelabuhan yang dikuasai EIC, di gempur Belanda.
"Namun berkat Kepala Kota Jepara yang merupakan orang Eropa, muncul perdamaian dan gencatan senjata antara Belanda dan Inggris," kata De Graaf.
"Selain itu, Walikota (kepala kota) Jepara juga berjasa merestorasi, merenovasi dan memulihkan kembali kota pelabuhan yang rusak akibat ulah Belanda menaklukan wilayah yang dikuasai Inggris."
Demikian juga dengan Wouter Schouten yang menulis dalam bukunya "De Oost-Indische Voyagie van Wouter Schouten", jilid 1, yang diterbitkan oleh Walburg Pers tahun 2003.
Kapal milik Wouter Schouten yang bersandar di Jepara pada bulan Maret 1659, bersaksi tentang kemegahan kota pelabuhan Jepara yang ia lihat. Kesaksiannya menunjukkan tentang makmur dan memiliki banyak penduduk, agaknya berkat restorasi yang telah dilakukan.
"Tembok sekelilingnya dalam keadaan baik, rumah-rumah dibangun dengan batu dan kapur, jalan, tembok, lapangan dan pemandangan di sekitarnya menarik. Menyenangkan sekali berkunjung ke sana," ungkap Schouten.(*)
Editor : Langgeng Widodo
Artikel Terkait