Kisah Saridin Berguru ke Sunan Kudus, Dari Kelapa Berisi Ikan hingga Isi Bak Mandi dengan Keranjang

Doddy Handoko, Okezone
Kisah Saridin berguru ke Sunan kudus

 

MURIA, iNews.id - Terdapat cerita di Babad Tanah Jawa,  di wilayah Jawa Tengah, tepatnya  Kabupaten Pati, terdapat cerita legenda tentang Saridin atau Syekh Jangkung salah satu  wali yang dikenal sebagai wali nyentrik di Pantura.

Berdasarkan cerita lisan di masyarakat, Saridin disebut-sebut putra salah seorang Wali Songo, yaitu Sunan Muria dari istri bernama Dewi Samaran.

Tertuang di babad, bayi tersebut memang bukan darah daging Sang Sunan dengan istrinya, Dewi Samaran. Lantas muncul tokoh Branjung di Desa Miyono yang menyelamatkan dan merawat bayi Saridin hingga beranjak dewasa dan mengakuinya sebagai saudaranya.

Saridin, sewaktu masa muda, dia memiliki ‘hobi’  suka hidup berpetualang sampai bertemu dengan Syeh Malaya yang dia akui sebagai guru sejati.

Syeh Malaya itu tak lain adalah Sunan Kalijaga.

Disebutkan dalam babad, Sariidin telah menikah dengan seorang wanita yang hingga sekarang masyarakat lebih mengenal sebutan ”Mbokne (ibunya) Momok” dan dari hasil perkawinan tersebut lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Momok.

Pada suatu waktu, Saridin dan Branjung harus bagi waris atas satu-satunya pohon durian yang tumbuh dan sedang berbuah lebat. Bagi waris tersebut menghasilkan kesepakatan, Saridin berhak mendapatkan buah durian yang jatuh pada malam hari, dan Branjung dapat buah durian yang jatuh pada siang hari.

Saat menunggu gilirannya malam sebab kesepakatan yang telah disetujui keduanya itu, Saridin memergoki adanya bayangan seekor macan sedang makan durian yang jatuh. Spontan dan sigap, sosok bayangan itu berhasil dilumpuhkan menggunakan tombak oleh Saridin.

 Namun, setelah tubuh binatang buas itu tergolek dalam keadaan tak bernyawa, inatang itu malah berubah wujud menjadi sosok tubuh seseorang yang tak lain adalah Branjung.

Terbunuhnya Branjung membuat Saridin berurusan dengan penguasa Kadipaten Pati.

Wasis Joyo Kusumo yang menjabat Adipati Pati waktu itulah yang harus memberlakukan penegakan hukum dengan keputusan menghukum Saridin karena dinyatakan terbukti bersalah telah membunuh Branjung.

Meskipun dalam pembelaan Saridin berulang kali menegaskan, yang dibunuh bukan seorang manusia tetapi seekor macan, fakta yang terungkap membuktikan yang meninggal adalah Branjung akibat hunusan tombak Saridin.

Akhirnya, Saridin-pun harus menjalani hukuman yang telah diputuskan oleh penguasa Pati, akibat perbuatannya itu.

Usai menjalani hukuman, Saridin lalu berguru pada Sinan Kudus.

Namun, Saridin kembali berulah. Ontran-ontran Saridin di perguruan Kudus tidak hanya menjengkelkan para santri yang merasa diri senior, tetapi juga merepotkan Sunan Kudus.

Terkait kemampuan dalam ilmu kasepuhan. Hal itu membuat dia harus menghadapi persoalan tersendiri di perguruan tersebut. Itulah dia tunjukkan ketika beradu argumentasi dengan sang guru soal air dan ikan.

Untuk menguji kewaskitaan Saridin, Sunan Kudus bertanya, “Apakah setiap air pasti ada ikannya?” Saridin dengan ringan menjawab, “Ada, Kanjeng Sunan.”

Mendengar itupun, sang guru memerintah seorang murid memetik buah kelapa dari pohon di halaman. Buah kelapa itu dipecah. Ternyata kebenaran jawaban Saridin terbukti.

Dalam buah kelapa itu memang ada sejumlah ikan. Karena itulah Sunan Kudus atau Djafar Sodiq sebagai guru tersenyum simpul.

Kendati demikian, murid lain menganggap Saridin lancang dan sok pamer. Karena itu lain hari, ketika bertugas mengisi bak mandi dan tempat wudu, para santri mengerjai dia. Para santri mempergunakan semua ember untuk mengambil air.

Saridin tidak enak hati. Karena ketika para santri yang mendapat giliran mengisi bak air, termasuk dia, sibuk bertugas, dia menganggur karena tak kebagian ember. Dia meminjam ember kepada seorang santri.

"Kalau mau bekerja, itu kan ada keranjang.” Kemudian keranjang itu dia ambil untuk mengangkut air. Dalam waktu sekejap bak mandi dan tempat wudu itu penuh air.

Kejadian itu, sontak, para murid Kanjeng Sunan Kudus-pun terkaget-kaget.

Kejadian itu dalam sekejap telah diterima Sunan Kudus. Demi menjaga marwah dan keberlangsungan belajar para santri, sang guru menganggap dia salah. Dia pun sepautnya dihukum.

Sunan Kudus pun meminta Saridin meninggalkan perguruan Kudus dan tak boleh lagi menginjakkan kaki di bumi Kudus. Vonis itu membuat Saridin kembali berulah. Dia unjuk kebolehan.

Tak tanggung-tanggung, dia masuk ke lubang WC dan berdiam diri di atas tumpukan tinja. Pagi-pagi ketika ada seorang wanita di lingkungan perguruan buang hajat, Saridin berulah. Dia memainkan bunga kantil, yang dia bawa masuk ke lubang WC, ke bagian paling pribadi wanita itu.

Karena terkejut, perempuan itu menjerit. Jeritan itu hingga menggegerkan perguruan. Setelah sumber permasalahan dicari, ternyata itu ulah Saridin.

Sekeluarnya dari lubang WC, dia dikeroyok para santri yang tak menyukainya. Dia berupaya menyelamatkan diri. Namun, para santri menguber ke mana pun dia bersembunyi.

Saridin kembali menjadi buronan. Selagi berkeluh kesah, menyesali diri, dia bertemu kembali dengan sang guru sejati, Syekh Malaya.

Sang guru menyatakan Saridin terlalu jumawa dan pamer kelebihan. Untuk menebus kesalahan dan membersihkan diri dari sifat itu, dia harus bertapa mengambang atau mengapung di Laut Jawa.

Padahal, dia tak bisa berenang. Syekh Malaya berlaku bijak. Dua buah kelapa dia ikat sebagai alat bantu untuk menopang tubuh Saridin agar tak tenggelam.

Menurut cerita lisan disebutkan, setelah berhari-hari bertapa di laut dan hanyut terbawa ombak akhirnya dia terdampar di Palembang. Cerita tidak berhenti di situ. Karena, dalam petualangan berikutnya, Saridin disebut-sebut sampai ke Kerajaan Turki Usmani.

Editor : Achmad Fakhrudin

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network