KUDUS, iNewsMuria.id - Di Kudus ada dua punden yang diyakini sebagai petilasan dari orang-orang yang dikutuk Sunan Muria.
Yang menarik, punden-punden tersebut banyak didatangi warga untuk mencari berkah.
Ini tak lepas dari kisah semasa hidupnya, di mana Sunan Muria memang dikenal memiliki kesaktian yang luar biasa tinggi.
Dengan kesaktiannya tersebut, Sunan Muria bisa dengan mudah mengalahkan lawan-lawannya. Yang pada akhirnya bisa melancarkan misi dakwahnya.
Salah satu contoh kesaktian dari Sunan Muria adalah kekuatan kutukannya yang selalu menjadi kenyataan.
Dalam sejarah perjalanan hidup Sunan Muria, dikisahkan bahwa setidaknya sang wali yang lebih memilih tinggal di menyepi di puncak Gunung Muria ini, telah mengeluarkan dua kutukan hebat.
Yang mana hingga kini tetap dikenang oleh masyarakat yang tinggal di wilayah Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Pohon Jati Jelmaan Penduduk Desa
Kutukan yang pertama adalah pada rombongan warga Desa Kandang Mas, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus yang datang melayat jenasah Dewi Nawangsih putri sang wali.
Dewi Nawangsih mati bunuh diri setelah mengetahui kekasihnya Raden Bagus Rinangku mati terbunuh oleh Sunan Muria.
Sang wali yang merasa jengkel melihat kelakuan warga desa tersebut, seketika mengutuk rombongan pelayat itu menjadi pohon jati.
Sunan Muria merasa jengkel karena para penduduk di sekitar tempat itu terlalu larut dalam kesedihan saat Dewi Nawangsih meninggal.
Para penduduk itu dikutuk menjadi pohon jati yang hingga kini masih bisa terlihat dengan jelas.
Dan karena merupakan jelmaan manusia maka bila dilihat dari kejauhan barisan pohon jati tersebut seperti barisan manusia yang tengah mengelilingi sesuatu.
Karenanya hingga kini tidak ada seorangpun warga di sekitar makam itu berada, yang berani mengambil kayu-kayu di hutan itu.
Jangankan mengambil kayu, memetik daunnya saja untuk dibawa pulang tidak ada yang berani. Sebab konon benda tersebut pasti akan menangis dan meminta dibawa kembali ke hutan.
Ular Pengingat Janji
Sepintas sepertinya tidak masuk akal, namun kenyataannya tidak ada seorangpun warga yang berani mengambil kayu-kayu jati yang kalau dijual bisa bernilai puluhan juta rupiah, karena usianya yang sudah sangat tua.
Padahal banyak di antara kayu-kayu itu yang terlihat roboh dan berserakan karena dimakan usia.
Namun demikian, cerita ini tidak menyurutkan niat para pengalab berkah untuk datang berziarah ke makam tokoh yang satu ini.
Tiap hari makam yang biasa disebut Punden Masin ini tidak pernah sepi dari peziarah.
Hal ini karena konon permintaan apapun yang disampaikan di makam Dewi Nawangsih dan kekasihnya Raden Bagus Rinangku, pasti akan dikabulkan.
“Nawangsih itu berasal dari kata nawang atau nyawang yang berarti melihat atau memperhatikan dan asih yang berarti memberi. Sehingga kanjeng dewi Nawangsih ini akan selalu memperhatikan siapapun yang datang padanya untuk kemudian diberikan apa yang diinginkannya,” ucap Suparjo, juru kunci makam.
Entah dari mana laki-laki 60 tahun itu bisa mendapatkan penjabaran seperti itu.
Namun yang pasti, banyak orang yang telah mempercayai keampuhan punden ini, terutama untuk mendapatkan kekayaan.
Bahkan ada yang mengatakan bahwa punden ini adalah Gunung Kawi kedua bagi para pemburu kekayaan.
Tak hanya sebatas pesugihan saja yang dicari dengan ritual di tempat ini. Banyak di antara para peziarah yang datang, bertujuan untuk mengadakan ritual persiapan sebelum masa tanam dimulai.
Kepercayaan ini muncul karena dikaitkan dengan kemampuan Raden Bagus Rinangku saat mengembalikan padi yang telah dimakan burung, saat diperintah Sunan Muria untuk menjaga sawahnya.
Sehingga ada harapan agar berkah dari Raden Bagus Rinangku dapat membuat hasil panen berlimpah.
Tapi ada satu hal yang perlu diingat tiap kali memohon berkah di tempa ini. Sebelum harapannya terkabul, dalam permohonannya si pencari berkah tidak boleh lupa untuk menyampaikan imbalan apa yang akan diberikan pada danyang penunggu punden.
Sebab hal ini akan memperkuat doa dan ujung-ujungnya akan memperbesar tingkat keberhasilan dari permohonan tersebut.
“Banyak diantara peziarah yang datang kembali sambil membawa kambing kendit untuk dipotong dan dibuat selamatan di sini. Tapi bagi yang secara ekonomi tidak terlalu kaya biasanya paling-paling membawa tumpeng lengkap untuk dimakan bersama-sama di sini. Semua itu pada dasarnya simbol dari rasa syukur dan keinginan untuk saling berbagi,” Suparjo.
Suparjo juga mengingatkan agar nadar ini jangan sampai dilupakan. Karena dari beberapa kejadian yang sudah-sudah, danyang penguasa tempat ini konon akan datang untuk menagih.
Dan salah satu tanda bahwa danyang tersebut menagih janji adalah munculnya ular weling di rumah orang yang berjanji tersebut. (*)
Editor : Langgeng Widodo
Artikel Terkait