get app
inews
Aa Text
Read Next : Prabowo Cabut 4 Izin Tambang Nikel di Kawasan Konservasi Raja Ampat

Tambang Di Raja Ampat, Tanggung Jawab Dan Kepentingan Siapa?

Jum'at, 13 Juni 2025 | 18:48 WIB
header img
Werdha Candratrilaksita.

iNewsMuria.id-Raja Ampat, kawasan wisata yang telah ditetapkan UNESCO sebagai Global Geopark memiliki keanekaragaman hayati (biodiversitas), khususnya terumbu karang dan seluruh kehidupan biota laut di antara terumbu karang. Lautan di kawasan Raja Ampat hingga Maluku Utara juga menjadi tempat bertelur dan pemijahan ikan bernilai ekonomis tinggi seperti ikan tuna, yang kemudian pasca pemijahan akan bermigrasi dan dipanen di samudera pasifik. Sehingga kerusakan lingkungan di kawasan itu mengancam dunia. Gugusan kepulauan di Raja Ampat dahulu merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore sebelum jatuh ke tangan Belanda dan kini menjadi bagian wilayah Propinsi Papua Barat Daya, Republik Indonesia.

Gugusan Kepulauan antara Provinsi Sulawesi Tengah, Maluku Utara, hingga Papua Barat Daya adalah lumbung (deposit) nikel, senyawa logam yang harganya terus meningkat, seiring permintaan yang tinggi pada industri baterai dan kendaraan listrik khususnya yang diproduksi di Tiongkok. Sementara itu negara-negara barat telah beralih ke Lithium Ferophospat (non-nikel). Kendaraan listrik dengan baterai adalah suatu pemikiran yang konon dianggap “Go Green” dalam konteks ekonomi hijau, namun kenyataannya merusak lingkungan di hulu industrinya yaitu pertambangan dan smelter nikel. Indonesia diperkirakan memiliki cadangan bijih nikel sebanyak 5,3 miliar ton atau 43,3 persen dari keseluruhan bijih nikel dunia (sumber: Kementerian ESDM dan USGS). Cadangan bijih nikel itu tersebar di gugusan pulau-pulau mulau dari wilayah Sulawesi Tengah, Maluku Utara, hingga Papua Barat Daya.

Tambang nikel di wilayah itu (Sulawesi Tengah, Maluku Utara, hingga Papua Barat Daya) telah menimbulkan efek samping berupa bencana ekologis. Pengungkapan bencana ekologis di Raja Ampat akibat aktivitas tambang di kawasan Raja Ampat oleh Greenpeace telah menggegerkan dunia. Ketamakan dengan dalil ekonomi seolah tidak memiliki batasan lagi, kawasan yang telah ditetapkan UNESCO sebagai Global Geopark pun tidak luput dari ketamakan pembuat kebijakan pertambangan. Dalam suatu keterangan kepada pers, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyampaikan bahwa lokasi pertambangan PT Gag Nikel berjarak 30-40 km dari kawasan wisata Raja Ampat. Dalam lautan yang terkoneksi satu dengan lainnya tentunya jarak puluhan kilometer adalah jarak yang sangat dekat, yang memungkinkan polutan menyebar ke segala arah.

Greenpeace adalah organisasi nirlaba berskala internasional yang berfokus pada lingkungan hidup telah bersuara atas temuannya mengenai kerusakan lingkungan hayati di Raja Ampat untuk pertama kalinya sebelum lainnya bersuara. Pada saat Presiden menyatakan hati-hati dengan LSM yang ditunggangi oleh “asing” pada pidato hari lahir Pancasila, justru LSM “asing” itulah yang berani mengungkap pertama kali kerusakan lingkungan di Raja Ampat. 

Sebagaimana biasa terjadi di negeri ini, “no viral no justice”, jika tidak viral maka tidak akan ada keadilan atau tindakan hukum. Temuan Greenpeace menjadi viral dan diamplifikasi oleh hampir semua media (pers) bahkan media sosial, sehingga akhirnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menghentikan sementara operasi pertambangan nikel di Raja Ampat, Propinsi Papua Barat Daya.

Tanggung jawab siapa?

Pemerintah pusat harus bertanggung jawab, pada masa siapapun menjabat atau Kementerian mana pun yang mengusulkan kebijakan, penanggung jawab tertinggi dalam pemerintahan adalah Presiden. 

Dalam wilayah teknis, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, adalah pejabat yang paling bertanggung jawab terhadap izin pertambangan nikel Raja Ampat. Meskipun, kontrak karya/izin diberikan pada masa jabatan sebelumnya oleh persona pejabat lama. Langkah Menteri Bahlil Lahadalia menghentikan sementara operasi pertambangan nikel Raja Ampat setelah temuan kerusakan lingkungan Raja Ampat viral di berbagai media adalah langkah yang patut diapresiasi, demikian juga keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk mencabut empat izin usaha pertambangan selain PT Gag Nikel.

Literatur administrasi publik banyak mengulas mengenai tanggung jawab dan responsivitas regulator terhadap potensi dan dampak kebijakan pada saat sebelum kebijakan ditetapkan (saat kebijakan direncanakan), saat kebijakan berjalan (on going), maupun setelah kebijakan dihentikan (diterminasi). Pemerintah sebagai regulator harus bertanggung jawab dan responsif pada temuan-temuan kerusakan lingkungan di wilayah pertambangan.

Pemerintah diharapkan bekerja mengevaluasi seluruh kontrak karya pertambangan baik yang masih berlaku maupun yang telah dialihkan statusnya menjadi izin usaha pertambangan (IUP). Kontrak Karya generasi VII tercatat telah menimbulkan banyak masalah baik lingkungan maupun sosial, seperti yang terjadi di Aceh hingga Sumatera Utara pada tambang timah hitam dan seng. Meskipun sebenarnya masalah banyak terjadi pada seluruh kontrak karya baik generasi I hingga generasi terakhir VII. Namun, hingga saat ini tersisa kontrak karya generasi VI dan generasi VII, dan sebagian telah beralih status menjadi izin usaha pertambangan (IUP).

Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa pemberian izin pertambangan nikel di Raja Ampat, kepada PT Gag Nikel, anak usaha BUMN PT Aneka Tambang, diberikan sebelum dirinya menjabat Menteri ESDM. Bahlil Lahadalia menyebut bahwa PT Gag Nikel merupakan perusahaan pemegang Kontrak Karya Generasi VII Nomor B53/Pres/I/1998. Kontrak ini ditandatangani sejak 19 Januari 1998 oleh Presiden Soeharto. Kontrak Karya Generasi VII Nomor B53/Pres/I/1998 telah diperbarui atau diamandemen pada 23 Desember 2015 (sumber: www.esdm.go.id).

Khusus PT Gag Nikel, status kontrak karya pertambangan generasi VII untuk PT Gag Nikel telah dialihkan menjadi berstatus izin usaha pertambangan (IUP). Berdasarkan penelusuran pada sejumlah media, PT Gag Nikel melakukan operasi pertambangan nikel sejak tahun 1998, namun operasi skala besar terjadi setelah 2018. PT Gag Nikel memiliki luas wilayah izin pertambangan 13.136,00 hektar. PT Gag Nikel mendapat izin produksi pada 2017, lalu mulai berproduksi pada 2018.

Sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), yang diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, Izin Usaha Pertambangan (IUP) Nikel ditandatangani oleh Presiden. Sebelum UU Minerba berlaku, pertambangan skala besar diberikan haknya kepada Perusahaan berbadan hukum Indonesia (swasta) melalui dokumen kontrak karya pertambangan, sedangkan setelah UU Minerba berlaku diberikan melalui dokumen izin usaha pertambangan. Kontrak Karya Pertambangan adalah perjanjian antara pemerintah dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan. 

Dampak Kerusakan Ekologis

Pertambangan di banyak lokasi telah menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan hayati, bahkan konflik sosial berkaitan dengan sengketa kepemilikan tanah dan hak ulayat (adat). Persoalan tambang nikel terjadi juga di Halmahera, Maluku Utara dan Morowali Sulawesi Tengah. Pertambangan timah juga menimbulkan banyak polemik lingkungan dan sosial di Bangka Belitung, Aceh, dan Sumatera Utara. Pertambangan bauksit di Kalimantan Barat, demikian juga tambang emas di Papua dan Nusa Tenggara Barat, juga telah memunculkan isu lingkungan dan sosial. Pertambangan non logam seperti Batubara juga menimbulkan berbagai persoalan lingkungan hidup dan sosial di sebagian besar wilayah Kalimantan timur, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan.

Selain industri pertambangan, industri perkebunan sawit harus menjadi perhatian serius, yang mengancam berkurangnya luasan tutupan hutan, yang menjadi habitat keaneragaman hayati, pensuplai oksigen dunia, penyangga wilayah pesisir, serta cadangan air yang bersih dan sehat. Semua aspek manfaat hutan benar-benar ter-erosi oleh aspek kerugian dari munculnya pertambangan dan perkebunan sawit. Sawit adalah tanaman jenis palm yang banyak menyerap air dan unsur hara tanah, sehingga tanah bekas perkebunan sawit terdegradasi kualitasnya. Bahkan perkebunan sawit saat ini telah merambah sampai ke bumi cenderawasih (Papua), yang mana selama ini hanya fokus di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Namun, Presiden mengatakan bahwa kita jangan percaya konsultan “asing” dan pakar “asing” yang mengatakan Perkebunan sawit merusak lingkungan. Lantas, sebenarnya kepentingan apa yang sedang bekerja di pemerintah dalam pemberian izin pertambangan dan perkebunan sawit? Apalagi narasi “asing” selalu dimainkan untuk membentuk ketidakpercayaan publik pada civil society dan pers yang mengingatkan pemerintah.

Kepentingan Siapa?

Pihak yang paling berkepentingan adalah pelaku usaha yang menikmati izin usaha pertambangan, barulah selanjutnya kepentingan ekonomi makro. Dari berbagai sumber media dan literatur, pertambangan dan juga perkebunan sawit selalu berfokus pada kepentingan ekonomi makro, yaitu pertama, bagaimana industri menyerap tenaga kerja, kedua, meningkatkan produk domestik bruto (PDB), dan yang ketiga namun sering menjadi yang utama menurut pemerintah yaitu meningkatkan pendapatan negara dari sektor perpajakan (termasuk pungutan ekspor/bea keluar).

Kepentingan pertama adalah penyerapan tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja hanya bisa terjadi jika industri dibangun dengan konsep padat karya dan memprioritaskan tenaga kerja lokal. Pada kenyataannya banyak tenaga kerja asing yang bekerja di sektor pertambangan, khususnya pertambangan nikel, serta penggunaan teknologi pemprosesan telah mengurangi ketergantungan industri pertambangan dan smelter pada tenaga kerja. 

Kepentingan kedua adalah peningkatan PDB. PDB yang diharapkan meningkat, belum tentu meningkatkan pendapatan nasional apabila investor di sektor pertambangan berasal dari pelaku usaha asing. Aliran keluar negeri atas keuntungan Perusahaan asing yang telah berbadan hukum Indonesia tersebut bisa saja terjadi, dan tidak terdeteksi jika menggunakan trik “transfer pricing”, sehingga potensi penerimaan perpajakan bagi APBN yang diharapkan tidak terjadi.

Kepentingan ketiga berkaitan dengan peningkatan pendapatan perpajakan menghadapi masalah “transfer pricing” pada Perusahaan yang didominasi investor asing. Praktek akal-akalan “transfer pricing” sering terjadi pada Perusahaan berbadan hukum Indonesia yang pemilik modal utamanya adalah Perusahaan asing, dengan mengatur keuntungan perusahaannya di Indonesia menjadi minimalis atau bahkan merugi, untuk memperbesar keuntungan Perusahaan induk di negara asal baik secara langsung maupun melalui perusahaan “cangkang” sebagai antara. Hal itu terjadi pada transaksi antara Perusahaan berbadan hukum Indonesia yang merupakan anak Perusahaan dengan induk Perusahaan di negara asal investor. Apabila Pemerintah Indonesia tidak memiliki perjanjian khusus untuk membongkar praktek “transfer pricing” dengan negara asal investor, maka sampai kapan pun kita akan terus “dikadali”.

Industri pertambangan yang mana pelaku usahanya didominasi oleh investor asing, tentunya hanya menguntungkan investor asing dan negara asal investor asing. Oleh karena itu, Pemerintah mesti melakukan evaluasi menyeluruh atas semua kontrak karya yang masih berlaku dan izin usaha pertambangan yang telah diterbitkan, khususnya berkaitan dengan dampak pada kerusakan lingkungan hayati yang sedang mengemuka. Seharusnya itulah makna “asing” yang dimaksud Presiden pada peringatan hari Pancasila, bukan LSM dan Pers yang didanai “asing”.

Untungnya PT Gag Nikel telah diakuisisi oleh PT Aneka Tambang, di mana sebelum tahun 2008 PT Gag Nikel dimiliki sahamnya secara mayoritas oleh Asia Pacific Nickel Pty. Ltd, Perusahaan yang berbasis di Singapura. Sehingga sejak tahun 2008, operasi tambang PT Gag Nikel sepenuhnya menjadi kepentingan pemerintah C.Q. BUMN PT Aneka Tambang.

Namun, media menemukan terdapat empat Perusahaan pertambangan yang beroperasi di Raja Ampat, yaitu PT Gag Nikel, PT Anugerah Surya Utama, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawai Sejahtera Mining. Sebagian adalah anak Perusahaan BUMN, sebagian adalah Perusahaan dalam negeri, dan sebagian lainnya adalah Perusahaan berbadan hukum Indonesia yang dimiliki oleh Perusahaan asing.

Last but not least, kepentingan pelaku usaha itu tidak berdiri sendiri namun berkaitan dengan kepentingan pejabat yang berwenang memberikan izin usaha pertambangan yaitu Presiden dan Menteri ESDM. Kita berharap tidak ada korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pemberian izin usaha pertambangan (IUP). Transparansi dan akuntabilitas diharapkan terpenuhi dalam pemberian IUP, serta tidak anti kritik apabila civil society dan pers menemukan dampak buruk pertambangan, khususnya dampak bagi lingkungan ekologis. Pemerintah juga harus terus mengawasi dan bertindak imparsial (tidak menjadi bagian) dari para pelaku usaha. Pemerintah harus mengedepankan kepentingan umum serta memperhatikan dampak ekologis dari aktivitas pertambangan. (Werdha Candratrilaksita, Mahasiswa Program Doktor Administrasi Publik Universitas Diponegoro).

Editor : Arif F

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut