Memori Peninjauan Kembali Bambang Tri Mulyono, Lengkap

Langgeng Widodo
Sidang Peninjauan Kembali Bambang Tri Mulyono di Pengadilan Negeri Solo, Kamis (3/7/2025). Foto : Langgeng Widodo.

SOLO,iNewsMuria.id-Meski bakal bebas bersyarat pada akhir Agustus 2025, terpidana kasus ijazah palsu Jokowi, Bambang Tri Mulyono mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.

Bambang Tri sudah menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Sragen selama dua tahun dari empat tahun yang diputuskan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang di tingkat banding.

Berikut memori Peninjauan Kembali (PK) Bambang Tri lengkap yang dibacakan kuasa hukum saat sidang Peninjauan Kembali di Pengadilan Negeri Solo, Kamis (3/7/2025) :

No. : 032/YLBHGKI/PK/VII/2025 Surakarta, 03 Juli 2025

Hal : Memori Peninjauan Kembali

Kepada Yth : Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Melalui Ketua Pengadilan Negeri Surakarta

Jalan Slamet Riyadi No. 290 Surakarta.

Dengan horrmat,

Yang bertanda tangan di bawah ini : Pardiman SH, Dr Muhamad Edi Santosa SH, dan Yakub Chris Setyanto SH, Advokat dan Konsultan Hukum pada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum “Garuda Kencana Indonesia” yang berkantor di Kampung Genjikan RT 1 RW 5 (Pendapa), Kelurahan Rejosari, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 23 April 2025, bertindak selaku kuasa hukum untuk dan atas nama :


Nama : Bambang Tri Mulyono

Tempat & Tgl. Lahir : Blora, 5 Mei 1971

Jenis Kelamin : Laki Laki

Agama : Islam

Status Perkawinan : Kawin

Pekerjaan : Wiraswasta

Kewarganegaraan : WNI

Alamat : Jambangan RT.01 RW.04, Desa Sukorejo, Kecamatan Tunjungan, Kabupaten Blora

Alamat Domisili : Lapas Kelas IIA Sragen, Jl. Sukowati, Dusun Kebayanan Widodadi 2, Sragen Wetan, Kec. Sragen, Kabupaten Sragen

Putusan PN

Dengan ini mohon kepada Yth Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk mengajukan Memori Peninjauan Kembali atas pernyataan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali terhadap Putusan Mahkamah Agung RI No. 4851 K/Pid.Sus/2023 tertanggal 14 September 2023 junto Putusan Pengadilan Tinggi Semarang No. 272/Pid.Sus/2023/PT.Smg tertanggal 7 Juni 2023 junto Putusan Pengadilan Negeri Surakarta No. 319/Pid.Sus/2022/PN.Skt tertanggal 18 April 2023 dengan Terdakwa Bambang Tri Mulyono, yang amar putusannya berbunyi :

Menyatakan Terdakwa Bambang Tri Mulyono terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perbuatan dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, secara bersama-sama;

Menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa Bambang Tri Mulyono

selama 6 (enam) Tahun;

Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh

Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan

tersebut.

Memerintahkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan.

Banding

Putusan Banding di Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang menyebutkan menerima permintaan banding dari Terdakwa dan Penuntut Umum dan Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor 319/Pid.Sus/2022/PN Skt tanggal 18 April 2023 yang dimintakan banding :

Menyatakan Terdakwa BAMBANG TRI MULYONO terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Dengan sengaja tanpa hak turut serta menyebarkan informasi yang di tujukan untuk menimbulkan rasa kebencian individu;

Menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa BAMBANG TRI MULYONO selama 4 (empat) Tahun dan denda Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dalam hal denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 4 (empat) bulan;

Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan tersebut;

Menetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan.

Kasasi

Sementara itu dalam Putusan Kasasi :

Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi I/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Surakarta dan Pemohon Kasasi II/ Terdakwa Bmbang Tri Mulyono tersebut;

Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara pada tingkat kasasi sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah)

Amar putusan Kasasi tersebut telah diberitahukan kepada Pemohon Kasasi, sedangkan perhitungan tenggang waktu pengajuan Peninjauan Kembali menurut ketentuan pasal 264 ayat (3) tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu, maka pernyataan dan pengajuan Peninjauan Kembali ini selayaknya haruslah diterima. Selanjutnya dengan ini mengajukan Memori Peninjauan Kembali sebagai tersebut dibawah ini.

Peninjauan Kembali

Dasar dasar Peninjauan Kembali ini diajukan atas dasar alasan Pasal 263 ayat (2) KUHAP, terutama pada huruf c: "apabila terdapat kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata." sebagai berikut :

Pelapor bukan Subjek Hukum yang Tepat. Dalam perkara ini, Pelapor pada saat dilakukan penyelidikan/penyidikan bukanlah individu yang menjadi korban langsung, sebagaimana dalam prinsip prinsip hukum.

Pertama, prinsip legalitas yaitu tindakan yang dapat dikenakan sanksi pidana harus jelas diatur oleh undang-undang. Dalam perundang undang ITE mengandung ketidakjelasan siapa yang berhak melaporkan atas tindakan yang merugikan reputasi seseorang, sebagai bukti atas ketidak jelasan tersebut pada tahun 2024 dengan putusan MK nomor 105/PUU-XXII/2024 menegaskan hanya korban individu yang dapat membuat laporan atas perbuatan yang menimbulkan pencemaran nama baik.

Kedua, prinsip keterwakilan, yaitu perbuatan hukum yang secara materiil dianggap merupakan perbuatan pidana manakala terdapat sifat tercela yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Dalam kasus ini, kerugian yang diderita hanya dirasakan oleh individu yang dituju dalam video yang menjadi barang bukti yang telah beredar di masyarakat dunia maya, oleh karenanya Lembaga pemerintah, korporasi, institusi atau kelompok tertentu tidak dapat menjadi pelapor dalam pelaporan pidana tanpa korban yang pada kenyataanya Joko Widodo tidak dihadirkan sebagai saksi korban dan pelapor juga bukan pribadi Joko Widodo.

Ketiga, prinsip perlindungan hak individu. Jika di negara negara yang telah maju pemikiranya menggunakan prinsip perlindungan hak individu sebagai dasar hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, namun di Indonesia, hak individu harus tunduk pada pembatasan aturan hukum sehingga mengurangi nilai nilai dari kemerdekaan dan kebebasan individu sebagai manusia yang ditakdirkan bebas.

Hukum seharusnya melindungi hak hak individu  terhadap tindakan yang merugikan reputasi dan kehormatan mereka, serta memberikan akses bagi individu untuk menuntut keadilan tanpa campur tangan dari pihak manapun. Penghormatan terhadap hak individu sebenarnya telah dituangkan dalam konstitusi, namun dalam penerapanya di Indonesia masih banyak manusia menjadi srigala bagi manusia yang lainya..Dalam prinsip inilah yang dilupakan dalam pembuat perundang undangan ITE sehingga orang yang sebenarnya tidak mempunyai kewenangan untuk melaporkan tindak pidana dapat membuat orang lain masuk ke penjara.

Hal tersebut sangat bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945, sebagai buktinya pada tahun 2023 dan 2024 melalui Mahkamah Konstitusi menguji UU ITE dengan hasil sebagai berikut :

Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024 : Mengecualikan lembaga pemerintah, institusi, dan korporasi dari pihak yang dapat melaporkan dugaan pencemaran nama baik. Hanya korban individu yang dapat membuat laporan dugaan pencemaran nama baik.

Putusan MK Nomor 115/PUU-XXII/2024 : Menyatakan bahwa kerusuhan atau keributan di ruang digital/siber tidak masuk dalam delik pidana Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Putusan MK Nomor 78/PUU-XXI/2023 : Menghapus larangan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong yang menimbulkan keonaran, seperti tercantum dalam Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 tentang berita bohong.

Terkait masalah pelapor merupakan hak setiap warga negara. Dalam pasal 108 ayat (1) KUHAP menyebutkan “Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis”.

Dari pasal tersebut terlihat jelas terdapat kalimat “peristiwa yang merupakan tindak pidana” yang berarti sebuah peristiwa yang oleh hukum pidana dilarang dan disertai dengan ancaman atau hukuman bagi yang melanggar. Peristiwa incasu adalah sebuah tindakan keagamaan yang kemudian disiarkan/ disebarluaskan melalui media elektronik/ media sosial yang didalamnya menyumpah Terpidana Bambang Tri Mulyono  menurut keyakinannya tentang ijazah Joko Widodo yang pada saat itu menjabat sebagai Presiden RI (vide dakwaan JPU). Menurut keyakinannya ijazah milik Joko Widodo adalah palsu sehingga Terpidana Bambang Tri Mulyono (Pemohon Peninjauan Kembali) melakukan sumpah untuk dirinya sendiri sesuai agama yang dianutnya. Tindakan sumpah untuk diri sendiri bukanlah tindak pidana. 

Dilihat dari peristiwa mubahalah yang dilakukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali merupakan hak azasi yang diatur dalam UUD 1945 oleh karenanya mubahalah yang dilakukannya sebagai sumpah untuk dirinya sendiri merupakan perbuatan yang wajar (bukan perbuatan tercela). Terhadap pasal pasal penistaan agama yang terdapat dalam UU ITE yang didakwakan yaitu pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 ayat (2), Judex Factie dan Judex Juris telah salah dalam menafsirkan unsur “dengan sengaja dan tanpa hak”.

Apapun dan bagaimanapun teori hukumnya unsur dengan sengaja baik dolus atau opset, dalam pasal ini terkait dengan unsur lainya yaitu menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan yang sedemikian rupa padahal rasa kebencian dan permusuhan tidak dibuktikan dalam persidangan. Namun alasan judex factie dan judex juris menjadi lucu dengan mendasarkan pada alasan hukum bahwasanya Pemohon Peninjauan kembali tampil dalam wawancara tanpa klarifikasi dari Jokowi. Ini keliru.

Menurut Prof. Andi Hamzah, unsur niat jahat (mens rea) hanya dapat dibuktikan jika ada intensi aktif, padahal Pemohon Peninjauan Kembali tidak menyebarkan, mengedit, atau mengunggah video. Maka sebenarnya unsur ini tidak terbukti secara hukum. Oleh karena salah satu unsur tidak terbukti maka perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana.

Oleh karena perbuatan tersebut bukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal pasal yang didakwakan maka hanya satu individu saja yang jika penayangan mubahalah tersebut merasa menyerang kehormatanya sehingga yang harus melaporkan adalah individu tersebut (sebagaimana dalam pertimbangan hukum yang mempertimbangkan bahwasanya Pemohon PK telah secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana “dengan sengaja tanpa hak turut serta menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian individu”), dalam hal ini pelapor seharusnya adalah Joko Widodo, namun Joko Widodo tidak pernah menyatakan merasa dirugikan. Unsur subjektif delik pencemaran nama baik jadi tidak terpenuhi  

Menurut Prof. Andi Hamzah, kekeliruan dalam menilai subjek hukum dapat menjadi kekhilafan yang membatalkan proses hukum. Kesimpulanya hanya tindak pidana murni saja yang dapat dilaporkan oleh orang yang bukan terkena langsung sebagai akibat dari perbuatan pidana, sedangkan penyerangan terhadap martabat individu merupakan delik aduan dimana hanya korban yang dapat melakukan pelaporan/aduan, terbukti dari putusan putusan mahkamah konstitusi yang memperbaiki UU ITE tersebut diatas.

Tidak Ada Unsur Korban yang Mengalami Kerugian Nyata dalam Penyiaran mubahalah dan diskusi publik tidak menimbulkan kerugian langsung pada seseorang secara individual, sehingga unsur "menyebarkan berita bohong" tidak terpenuhi secara materiil. Korban tidak pernah tampil dalam persidangan. Dalam pengadilan yang bermartabat seharusnya mencermiunkan prinsip hukum equal before the law. Semua sama dihadapan hukum sebagaimana dijamin dalam undang undang dasar 1945.

Dalam KUHAP jika Terdakwa diberi kewajiban maka harus juga diberi hak untuk pembelaan dengan menghadirkan Joko Widodo dalam persidangan sebagai orang yang diperbincangkan dalam video tersebut dan seharusnya dihadirkan sebagai korban namun dalam persidangan tersebut tidak ada kehadiran dan keterangan keterangan dari pribadi Joko Widodo. Dalam Yurisprudensi MA No. 1012 K/Pid/1999, tidak hadirnya korban menyebabkan bukti menjadi tidak cukup. Hal ini berujung pada ketimpangan proses persidangan yang mengarah pada pelanggaran fair trial.

Ketika tidak ada klarifikasi langsung dari pihak yang dirugikan, maka elemen delik subjektif tidak terbukti. Oleh karena itu, kesimpulan hakim bahwa unsur pidana telah terpenuhi adalah kekhilafan nyata, oleh karenanya putusan pidana tersebut mengandung kekhilafan hakim;

Penerapan Pasal 28 ayat (2) jo 45A UU ITE Tidak Relevan. Pasal tersebut ditujukan untuk ujaran kebencian atas dasar SARA. Dalam perkara a quo, tidak terdapat ujaran kebencian berdasar SARA. Dalam kasus aquo, yang ditonjolkan adalah masalah kehidupan Joko Widodo, masalah sekolah Joko Widodo dan masalah ijazah Joko Widodo bukan masalah SARA. Judex Factie dan Judex Juris telah salah dalam menerapkan dan menafsirkan suatu peristiwa hukum kedalam sebuah peraturan pidana.

Jika melihat pada peristiwa yang terjadi, pendeknya, mubahalah yang divideokan dan diunggah ke media sosial bukanlah perbuatan yang melanggar hukum dan juga bukan penistaan agama Islam oleh karenanya bukan masalah SARA. Jika pun toh isi dari video tersebut berisi berita bohong, hal tersebut juga bukan masalah SARA. Pasal 28 ayat (2) UU ITE berlaku untuk ujaran kebencian berbasis SARA, bukan kritik administratif.

Menurut Prof. Harkristuti Harkrisnowo, penggunaan UU ITE untuk membungkam kritik publik merupakan pelanggaran terhadap ruang demokrasi digital. Putusan MK No. 50/PUU-VI/2008 juga menjamin ruang kritik terhadap pejabat publik. Karena tidak terdapat unsur objektif dari delik yang diterapkan, maka terjadi error in objecto dalam penerapan hukum pidana. Hal ini merupakan kekeliruan nyata.

Penafsiran Keonaran Terlalu Luas dan Tidak Terbukti secara Faktual. Dalam putusan hanya dikemukakan adanya "kegaduhan di dunia maya" namun tidak dibuktikan adanya gangguan ketertiban publik dalam arti sebenarnya. Jumlah penonton atau komentar di media sosial yang menimbulkan keonaran bukan alat bukti sah jika tidak diverifikasi melalui ahli forensik (incasu tidak ada uji forensic). Yang dinamakan kegaduhan dalam arti yang sebenarnya adalah kegaduhan yang masif dan sistematis yang dapat mengguncang sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehingga tidak hanya terjadi di suatu tempat tertentu sebagaimana disaksikan oleh saksi saksi yang melihat demo. Pemohon Peninjauan kembali meragukan kesaksian mereka karena tidak ada demo atau kegaduhan yang masif di berbagai wilayah di Indonesia.

Sebelum ada putusan MK Nomor 115/PUU-XXII/2024 yang menyatakan kegaduhan di dunia siber bukan tindak pidana maka terdapat asas asas dalam hukum pidana yang harus ada yaitu efek yang ditimbulkan akan merugikan baik individu ataupun masyarakat luas, namun dalam dunia siber tidak terdapat efek kerugian kepada siapa karena sifatnya tidak nyata oleh karenanya berdasarkan hal tersebut mengenai penafsiran keonaran juga tidak jelas dan menimbulkan ketidak pastian hukum.

Yurisprudensi MA No. 1087 K/Pid/1999, 'keonaran' harus ditunjukkan dengan gangguan fisik nyata terhadap ketertiban umum, seperti kerusuhan atau kekacauan sosial. Komentar media sosial tidak memenuhi unsur tersebut. Kesalahan penilaian ini adalah bentuk nyata dari kekhilafan hakim;

Mubahalah Bukan Tindakan Pidana. Mubahalah adalah praktik keagamaan yang dijamin konstitusi (Pasal 29 UUD 1945), sehingga menyiarkan mubahalah bukan tindak pidana. Mubahalah adalah bentuk sumpah religius dalam Islam dan tidak memiliki maksud pidana. Dalam Putusan MK No. 140/PUU-VII/2009, negara wajib melindungi ekspresi keagamaan. Dengan mengabaikan konteks spiritual dan teologis, hakim telah keliru menilai intensi Pemohon Peninjauan Kembali, yang justru sedang mempertanggungjawabkan pernyataannya secara agama, bukan menyebarkan kebohongan. Ini merupakan kekhilafan yuridis dan melanggar dan membungkam hak konstitusional Pemohon Peninjauan Kembali;

Pasal 55 KUHP Tidak Dapat Diterapkan. Hubungan hukum antara Gus Nur dan Bambang Tri tidak memenuhi unsur penyertaan aktif atau kolusi pidana. Tindakan masing-masing berdiri sendiri. Judex Facti dan Judex Juris menyatakan bahwa Pemohon turut serta melakukan penyebaran video bersama Gus Nur, namun tidak terdapat bukti adanya niat bersama atau kesepakatan melakukan tindak pidana.

Pemohon Peninjauan Kembali hanya datang sebagai narasumber. Menurut teori Prof. Moeljatno yang sejalan dengan Yurisprudensi MA No. 179 K/Pid/2003, penyertaan membutuhkan adanya pembagian peran aktif dan kesengajaan bersama (dolus eventualis). Tanpa keterlibatan teknis atau kontribusi terhadap distribusi konten, tidak bisa dikenakan Pasal 55 KUHP. Judex Factie dan Judex Juris tidak menguraikan motif Pemohon sebagai dasar pertimbangan dalam menjatuhkan pidana. Padahal, motif adalah bagian penting dari penilaian mens rea dan dalam beberapa kasus dapat meringankan tanggung jawab pidana. Oleh karena itu, putusan ini memuat kekeliruan nyata dalam struktur pemidanaan;

Video yang diunggah bukan oleh Pemohon PK. Bambang Tri Mulyono hanya diwawancarai, bukan pemilik atau pengunggah konten, sehingga tidak ada mens rea dan actus reus dari pemohon. Bagaimana dapat dikatakan mempunyai niat jahat (mens rea) ketika Pemohon PK tidak melakukan serangkaian kegiatan yang didakwakan yaitu mengunggah video dengan logika hukum bahwasanya jika Pemohon didakwa pasal penyertaan sedangkan peristiwa mengunggah video yang menimbulkan kegaduhan dilakukan oleh Gus Nur sendiri sedangkan Pemohon PK hanya diwawancarai sebelum video tersebut diunggah, oleh karenanya pemidanaan dengan pasal 55 menjadi tidak adil bagi Pemohon PK karena tidak mempunyai niat sebagaimana didakwakan dalam dakwaan. Demikian juga dengan actus reus dari pemohon PK. Perbuatan fisik Pemohon PK hanya diwawancarai oleh Gus Nur dan disumpah menurut agama Islam akan suatu pernyataan tertentu.

Perbuatan fisik tersebut bukan ditujukan untuk membuat gaduh bangsa dan negara secara nasional, namun hanya sebatas sebagai media dakwah Gus Nur sehingga perbuatan fisik Pemohon PK yang diwawancarai oleh Gus Nur tersebut tidaklah dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Dalam asas individualisasi pidana menurut van Bemmelen, tanggung jawab pidana tidak dapat dibebankan atas perbuatan pihak lain. Pemidanaan terhadap Pemohon Peninjauan Kembali adalah bentuk strict liability yang tidak dikenal dalam hukum pidana nasional Indonesia. Ini adalah kekeliruan serius.;

Tidak Ada bukti Manipulasi Informasi atau Pemalsuan. Isi pembicaraan dalam video merupakan pendapat berdasarkan data yang diyakini pemohon, bukan rekayasa atau kebohongan. Bahkan dapat dikatakan Joko Widodo yang saat itu menjabat sebgai presiden dengan beredarnya isu ijazah palsu melakukan pembiaran opini publik dengan tidak melakukan serangkaian tanggapan atas berita yang beredar dimasyarakat. Joko Widodo terkesan melakukan pemeliharaan konflik dengan cara berdiam diri dan tidak menunjukan kejadian yang sebenarnya dan bukti bukti ijazah asli.

Dikatakan kebohongan jika telah dibuktikan sebaliknya, misalkan dalam hal ini tidak ada satu buktipun akan keaslian ijazah Joko Widodo. Hakim menerima dalil jaksa bahwa ijazah Presiden Jokowi asli tanpa melakukan verifikasi forensik terhadap dokumen tersebut. Pembuktian materiil dalam hukum pidana harus melalui metode ilmiah. Tanpa pemeriksaan forensik terhadap obyek yang disengketakan, tidak dapat dinyatakan bahwa informasi yang disampaikan Pemohon Peninjauan Kembali adalah bohong. Menurut M. Yahya Harahap, pembuktian harus bersifat langsung dan ilmiah. Oleh karena itu, putusan yang berdasar pada asumsi dan tidak dilandasi bukti ilmiah merupakan kekhilafan hakim, oleh karenanya unsur kebohongan dalam pasal kedua yang didakwakan tersebut tidak terbukti;

Peradilan tidak Imparsial karena Aspek Politik yang Kuat. Objek tudingan berkaitan dengan Presiden Republik Indonesia. Perkara ini menyimpan konflik kepentingan sehingga potensi intervensi sangat tinggi. Pemohon PK telah dijatuhi hukuman yang tidak adil dalam konteks peradilan yang agung karena unsur unsur dalam aturan hukum pidana sangat dipaksakan hanya karena faktor faktor politik.

Hampir tidak terjadi dalam Sejarah negara negara warga negara biasa berhadapan langsung dengan penguasa akan meraih kemenangan sehingga peradilan yang agung sebagaimana dicita citakan oleh peradilan di Indonesia belum dapat tercapai. Hal ini penting dalam rangka mempertebal kepercayaan masyarakat pengadilan di Indonesia. Faktor politik inilah yang membuat putusan seakan berbelok menemukan putusan yang mengandung kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, sehingga melaui permohonan Peninjauan Kembali ini putusan menjadi dapat diluruskan sesuai hukum yang berlaku berdasarkan supremasi hukum karena NKRI adalah negara hukum bukan negara kekuasaan;

Ketidakhadiran Penasihat Hukum di Tingkat Banding membuat timpang putusan. Pemohon PK tidak didampingi penasehat hukum dalam tingkat banding di Pengadilan Tinggi Semarang, yang bertentangan dengan prinsip fair trial. Salah satu fungsi Penasehat Hukum dalam sidang pidana selain memperjuangkan hak asasi juga menjadi penjaga regulasi bahkan navigator yaitu menjadi mitra strategis bagi masyarakat luas, regulator dan penegak hukum lainya.

Tanpa Penasehat Hukum regulasi akan diterapkan secara kaku tanpa melihat sisi sosiologis sehingga keadilan tidak akan tercapai sehingga menghasilkan putusan yang otoriter. Hal ini melanggar ketentuan Pasal 56 KUHAP dan Putusan MK No. 006/PUU-IV/2006 yang mewajibkan pendampingan hukum dalam perkara pidana serius. Ketidakhadiran penasihat hukum menyebabkan terganggunya hak pembelaan dan prinsip fair trial. Putusan tingkat banding dan Kasasi menjadi cacat hukum karena terdakwa tidak memperoleh bantuan hukum secara layak. Oleh karena itu, putusan ini mengandung kekhilafan hakim yang nyata dalam menjamin hak konstitusional terdakwa dan perlu dikoreksi dengan Peninjauan Kembali;

Perlu Pemohon PK tekankan lagi bahwasanya bukti yang dihadirkan dalam persidangan tidak terdapat pemeriksaan forensik atas keaslian Ijazah Joko Widodo. Tidak dilakukan pembuktian ilmiah atas keaslian dokumen yang dipersoalkan, padahal barang itulah yang menjadi inti pembahasan dalam video mubahalah. Tidak adanya pemeriksaan forensic berhubungan langsung dengan apakah Gus Nur dan Pemohon PK melakukan pembohongan/ berita bohong.

Tidak ada berita bohong jika dibangun atas dasar asumsi yang hanya berdasar atas keyakinan yang menyampaikan (Pemohon PK) tanpa dibuktikan bahwa berita itu memang tidak sesuai dengan kenyataan. Pemohon PK mengatakan ijazah Joko Widodo palsu, namun dalam sidang pembuktian jaksa tidak membuktikan bukti keaslian ijazah Joko Widodo dan hanya menunjukan fotocopynya saja. Atas dasar hal tersebut kemudian tanpa bukti pemeriksaan forensik hakim judex factie dan judex juris mempertimbangkan dalam pertimbanganya terhadap unsur berita bohong terpenuhi, padahal tidak ada fakta hukumnya. Oleh karenanya putusan hakim tersebut mengandung kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata;

Putusan mengabaikan Azas Ultimum Remedium UU ITE. Penegakan hukum seharusnya mengutamakan pendekatan administratif atau etik, bukan pidana, khususnya untuk ekspresi di ruang digital. Dalam ruang digital orang seakan sebebas bebasnya mengeluarkan pendapat namun ketertinggalan peraturan membuat terkendalanya penegakan hukum di dunia siber, oleh karenanya hanya UU ITE yang dapat diterapkan, padahal pendekatan administratif dan etik yang ada dalam masyarkat yaitu norma norma yang tumbuh dalam masyarakat juga telah ada, misalkan apa yang dilakukan oleh Gus Nur dan Pemohon PK jika dirasa kurang etis dapat membinanya dengan jalan disadarkan melalui agama yang dianutnya.

Penegak hukum seakan akan memiliki super power untuk menindak berdasarkan aturan formil yang pada kenyataanya tidak dapat mencapai supremasi hukum namun mendegradasi hukum. Putusan pidana terhadap Pemohon PK atas ekspresi digital yang bersifat opini pribadi dan keagamaan melanggar prinsip hukum pidana sebagai ultimum remedium. UU ITE seharusnya digunakan sebagai upaya terakhir, bukan instrumen pertama.

Menurut Yurisprudensi MA No. 1425 K/Pid.Sus/2019 dan pandangan Komnas HAM, ekspresi digital yang tidak mengandung kebencian nyata harus diselesaikan secara non-pidana. Hakim telah gagal menerapkan prinsip proporsionalitas dan asas perlindungan kebebasan berekspresi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E UUD 1945 oleh karenanya putusan yang demikian mengandung kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata;

Putusan mengandung kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata karena putusan tersebut menyamaratakan pelaku pemeran dalam konten dengan penyebar konten. Pemohon PK yang tidak mempunyai kewenangan untuk mengendalikan media penyebar tetap disamakan dalam pertanggung jawaban pidana dengan pemilik/pengunggah video tersebut.

Hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan, prinsip dan kaidah hukum baik mengenai pelaku atau penyerta. Judex Factie dan Judex Juris menyamakan posisi Pemohon PK dengan pelaku utama tanpa membedakan peran masing-masing. Padahal, dalam asas pemidanaan individual, setiap orang hanya bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Pemohon PK adalah narasumber, bukan pengunggah atau penyebar konten. Hakim mengabaikan asas dolus dan pertanggungjawaban pribadi, sehingga terjadi kekeliruan yuridis.;

Putusan Judex Factie dan Judex Juris bertentangan dengan Yurisprudensi Pidana Digital yang menekankan unsur Kesengajaan. Dalam perkara serupa (misal putusan Ratna Sarumpaet), unsur pidana baru terpenuhi ketika terbukti kesengajaan menyebarkan kebohongan untuk keonaran public (secara nyata), namun dalam kasus aquo, kesengajaan tersebut tidak terbukti pada Pemohon PK.

Dalam proses persidangan, dalam pembuktian mengenai unsur kesengajaan dan tanpa hak tidak terdapat keterangan bahwa Pemohon diberi kesempatan menghadirkan saksi ahli yang independen. Hal ini melanggar asas equality of arms sebagaimana dijamin dalam ICCPR dan UU No. 12 Tahun 2005. Ketidakseimbangan proses ini menunjukkan kekhilafan majelis hakim dalam menjaga objektivitas pembuktian.

Oleh karenanya, proses hukum dalam perkara ini menjadi timpang. Judex Factie dan Judex Juris hanya mengutip keterangan digital forensik dari Bareskrim Polri, namun tidak mencatat bahwa saksi ahli yang dihadirkan berasal dari institusi independen. Menurut prinsip pembuktian pidana, ahli seharusnya tidak berasal dari pihak yang secara struktural terkait dengan penuntut umum. Tanpa ahli independen, maka proses menjadi tidak netral. Ini adalah kekhilafan yang menurunkan kualitas keadilan dalam putusan. Oleh karenanya pentingnya Peninjauan Kembali ini menghadirkan ahli yang berkompeten dan netral;

Beberapa hal yang Pemohon Peninjauan Kembali kemukakan tersebut diatas dapat menjadi pertimbangan terhadap alasan pemaaf dan pembenar yang dalam perbuatan pidana melekat pada subyek juga dapat melekat pada obyek. Alasan pemaaf dan pembenar pada dasarnya diatur dalam KUHP namun dalam praktek terdapat beberapa yurisprudensi yang menggunakan alasan pemaaf dan pembenar di luar KUHP lewat SEMA No. 7 Tahun 2012.

Oleh karena Mubahalah adalah praktek keagamaan yang diperbolehkan untuk disiarkan maka demi menjalankan kewajiban agama agar supaya Pemohon PK tidak terkena laknat dari Tuhan maka melakukan praktek sumpah terhadap diri sendiri tanpa mempunyai kesengajaan untuk membuat keonaran atau mendegradasi martabat individu tertentu. Judex Factie dan Judex Juris tidak mempertimbangkan mubahalah sebagai ekspresi spiritual.

Putusan MK No. 140/PUU-VII/2009 mewajibkan perlindungan negara atas ekspresi agama oleh karenanya seharusnya orang yang menjalankan kewajiban agamanya terdapat alasan pemaaf dan pembenar sehingga putusan seharusnya membebaskan dari semua dakwaan;

Putusan 4 tahun dengan denda Rp.400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) dengan penggantian 4 bulan penjara jika denda tidak dibayar merupakan putusan yang sangat tidak adil dan tidak manusiawi pada saat tidak ada kepastian hukum karena putusan mengandung kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. Jika pengadilan menganggap hal itu telah benar maka selayaknya sebagai negara yang beradab hakim lebih memperhatikan rasa keadilan masyarakat daripada menegakan hukum secara kaku yang menghasilkan otoritarian;

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, Pemohon Peninjauan Kembali memohon kepada Mahkamah Agung RI untuk menerima dan mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali ini, serta membatalkan putusan Mahkamah Agung No. 4851 K/Pid.Sus/2023 dan putusan-putusan di bawahnya, dan selanjutnya membebaskan Pemohon Peninjauan Kembali dari segala dakwaan hukum atau setidaknya memberi putusan yang lebih meringankan.

Demikian memori peninjauan kembali ini, atas perhatianya kami ucapkan terima kasih.

Hormat Kami,

Kuasa Hukum Pemohon PK

Pardiman, SH. MH

Dr. Muhamad Edi Santosa, SH. MH

Yakub Chris Setyanto, SH 

Editor : Arif F

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network