get app
inews
Aa Text
Read Next : Geledah Kantor Disnaker, Kejari Kudus Amankan Sejumlah Dokumen Terkait Dugaan Korupsi

Siapapun Presidennya Tak Akan Mampu Hapus Korupsi di Indonesia, Ini Penyebabnya

Sabtu, 27 Januari 2024 | 20:06 WIB
header img
Pasangan capres saat mengambil undian nomor urut (Foto: Arif Julianto/ Sindonews)

SOLO, iNewsMuria.id - Korupsi menjadi salah satu permasalahan serius yang banyak dihadapi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.

Karena itulah, upaya pemberantasan korupsi selalu menjadi perhatian serius dari pemerintah, untuk bisa menekan kasus ini.

Hanya saja, meski berbagai upaya telah dilakukan, kasus-kasus korupsi sepertinya belum bisa benar-benar ditekan dengan efektif.

Hal ini terlihat dari waktu ke waktu, masih banyak saja pejabat publik yang harus dipidana karena terlibat tindakan korupsi.

Bahkan adanya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang diharapkan bisa menekan atau menghilangkan praktik-praktik korupsi di Indonesia, belum bisa efektif untuk menekan kasus itu.

Terlebih secara regulasi, ada hal-hal yang melemahkan keberadaan KPK serta semakin memuluskan praktik tindak korupsi.

Hal ini disampaikan oleh Dr. Abraham Samad, SH, MH, mantan Ketua KPK, saat menjadi pembicara dalam seminar nasional bertema "Quo Vadis Pemberantasan Korupsi Pasca Pilpres 2024", yang digelar Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta, pada Sabtu 27 Januari 2024.

Penyebab Korupsi

Menurut Abraham Samad, masih menjamurnya tindak pidana korupsi di Indonesia salah satu faktor penyebabnya adalah tidak adanya sanksi yang benar-benar berat kepada pelaku.

"Kita tidak pernah benar-enar memberikan sanksi yang berat kepada para pelaku. Mereka yang sudah divonis ujung-ujungnya akan menjalani hukuman yang ringan karena mendapatkan berbagai macam remisi. Lalu harta mereka juga aman karena tidak ada pemiskinan atau perampasan harta. Dan yang terakhir tidak pernah ada sanksi sosial, yang membuat mereka jera," jelas Abraham.

Abraham menyebut bahwa penegakan hukum untuk para koruptor sempat begitu kuat di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Di mana ada kebijakan untuk tidak memberikan remisi kepada 3 kasus pidana, yaitu korupsi, narkoba dan terorisme.

"Bukannya saya mau membanding-bandingkan, di masa pemerintahan SBY, remisi tidak dengan mudah diobral kepada para koruptor seperti sekarang. Karena saat itu ada kebijakan bahwa remisi tidak akan diberikan kepada 3 kelompok tindak kejahatan, yakni korupsi, narkoba dan terorisme," ungkap pria yang menjabat sebagai Keua KPK periode 2011 - 2015 itu.

Abraham pun menyebut bahwa selain menumbuhkan kesadaran diri untuk tidak korupsi, pembenahan pada regulasi-regulasi yang ada sangat dibutuhkan, terutama yang menyangkut 3 hal yaitu tingkat hukuman, pemiskinan serta sanksi sosial.

"Beberapa negara yang dulu begitu dikenal memeiliki pejabat korup, kini bisa dikendalikan karena adanya sanksi yang benar-benar tegas. Salah satunya Cina, yang menerapkan 3 jenis hukuman itu pada para koruptor. Cina tak segan memberi hukuman berat pada mereka yang jadi terpidana korupsi. Lalu pemerintah juga melakukan perampasan harta kekayaan. Serta yang terakhir adalah pemberian sanksi sosial dengan dilarang terlibat dalam politik dan sejenisnya selama 30 tahun setelah bebas," terangnya.

Hal ini berbeda dengan di Indonesia, di mana para mantan terpidana korupsi seringkali justru disambut bak selebriti atau bahkan pahlawan.

Yang selanjutnya mereka diberikan jabatan-jabatan publik tertentu, apakah itu komisaris perusahaan ataukah pejabat di organisasi partai politik.

Karena itulah, Abraham menyebut bahwa hal ini akan menjadi PR besar bagi para calon presiden yang akan berlaga dalam pilpres 2024 nanti.

Senada dengan pemikiran Abraham Samad, Pakar Hukum tata Negara dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Dr. Zainal Arifin Mochtar, SH, LL.M menyebut bahwa pemberantasan korupsi harus berangkat dari diri sendiri.

Zainal menyebut bahwa siapapun presidennya, tidak akan berpengaruh pada upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, saat dia tidak memiliki komitmen yang kuat untuk mengubah regulasi-regulasi yang memberi peluang bagi koruptor.

"Pemberantasan korupsi tidak tergantung pada siapa presidennya, tapi lebih pada diri kita sendiri. Pemberantasan korupsi adalah tindakan kolektif. Sehingga dibutuhkan tindakan bersama baik dari pemerintah dengan kebijakan-kebijakan yang tegas, serta masyarakat dengan tanggung jawab pribadinya untuk tidak melakukan korupsi," jelas Zainal.

Bahkan Zainal berpandangan bahwa perlu adanya paradigma baru di dalam sistem perpolitikan di Indonesia yang saat ini terbagi dalam dikotomi agamis dan nasionalis.

Menurutnya, saat ini dua kelompok ideologis tersebut tidak bisa diandalkan dalam upaya pemberantasan korupsi, karena kebijakan-kebijakan yang mereka buat seringkali justru menyengsarakan rakyat.

"Di beberapa negara yang angka korupsinya rendah, selalu ada kelompok sosialis ataupun komunis yang kuat, sehingga mereka benar-benar bisa menerapkan hukuman berat untuk para koruptor. Namun di sini saya tidak mau menyebut bahwa perlu ada paham komunisme di Indonesia. Karena yang terpenting adalah semangatnya untuk menjaga negara ini agar bebas dari korupsi," tegas Zainal.

Zainal juga menyebut bahwa di beberapa negara ada sebuah partai politik yang berlandaskan semangat untuk menjaga lingkungan. Yang mana hal ini sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi.

"Keberadaan Green Party yang berlandas kepedulian lingkungan di beberapa negara menurut saya juga bagus. Karena semangat dari partai ini adalah untuk melindungi bumi sebagai titipan dari anak cucu kita. Sebab bumi ini bukanlah warisan, tapi titipan yang harus kita jaga. Sehingga kalau saat ini kita tidak menjaganya, maka anak cucu kita kelak tidak akan kebagian apa-apa," tandasnya.

Selain Abraham Samad dan Zainal Arifin Moctar, dalam seminar yang digelar di Gedung B Kampus Unisri tersebut juga dihadirkan Dr. Bambang Ali Kusumo, SH, MH, salah satu dosen dari Fakultas Hukum Unisri.

"Sementara itu Rektor Unisri Prof. Dr. Sutoyo menyampaikan apresiasi yang luar biasa atas terselenggaranya seminar tersebut.

Dirinya berharap agar hasil seminar ini nanti bisa menjadi masukan bagi para calon presiden yang akan berlaga di pilpres 14 Februari 2024 nanti.

"Tentunya hasil dari diskusi kita hari ini akan kita rekomendasikan agar menjadi bahan pertimbangan bagi para calon presiden yang akan berlaga nanti. Sehingga bisa dijadkan landasan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," ungkapnya. (*)

Editor : Langgeng Widodo

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut