PATI,iNewsMuria.id-Ada delapan lempengan baja bertuliskan huruf Jawa kuna dalam prasasti Tuhannaru, yang ditemukan di Desa Sidateka Kabupaten Majakerta dan tersimpan di museum Trowulan.
Pada lempengan keempat antara lain berbunyi : Raja Majapahit, Raden Jayanegara menambah gelarnya dengan Abhiseka Wiralanda Gopala pada 13 Desember 1323 M. Patihnya yang setia dan gagah berani bernama Dyah Malayuda bergelar rakai.
Saat pengumuman penambahan bersamaan dengan pisuwanan agung Raja Majapahit dihadiri para tamu dari kadipaten pantai utara Jawa Tengah bagian timur, termasuk Raden Tambranegara, Adipati Pati Pesantenan.
Raja Majapahit Raden Jayanegara mengakui wilayah kekuasaan adipati yang menjadi tamunya itu dengan memberi status sebagai tanah perdikan. Tapi dengan syarat, adipati itu setiap tahun menyerahkan upeti berupa bunga.
Hadirnya Raden Tambranegara, Adipati Pati Pesantenan dalam pisuwanan agung di Majapahit itu juga tercatat dalam Kitab Babad Pati, yang disusun KM Sosrosumarto dan S.Dibyasudira, diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1980.
Halaman 34, Pupuh Dandanggula pada : 12 berbunyi : ….. Tan alami Pajajaran kendhih, keratonnya ing tanah Jawa angalih Majapahite, ingkang jumeneng ratu, Brawijaya ingkang kapih kalih, ya Jaka Pekik wasta, putra Jaka Suruh, Kyai Ageng Pathi nama Raden Tambranegara sumewa maring Keraton Majalengka.
Artinya Tidak lama kemudian Kerajaan Pajajaran kalah, Kerajaan Tanah Jawa lalu pindah ke Majapahit, adapun yang menjadi rajanya adalah Brawijaya II, yaitu Jaka Pekik namanya, putranya Jaka Suruh.
Untuk mengatur pemerintahan yang semakin luas wilayahnya ke bagian selatan, Adipati Raden Kembangjoyo memindahkan pusat pemerintahannya dari Carangsoka ke Desa Kemiri dengan mengganti nama ”Kadipaten Pati Pesantenan" dengan gelar Adipati Jayakusuma.
Pemberian status perdikan bagi Kadipaten Pati Pesantenan, yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak kepada pemerintah (pusat) Kerajaan Majapahit adalah sebuah penghormatan besar. Sebab daerah atau kadipaten lainnya di Jawa banyak yang dianggap sebagai daerah jajahan (hasil penaklukan) dan harus membayar pajak atau upeti kepada Majapahit.
Sebenarnya terbentuknya Kadipaten Pati Pesantenan lebih dulu ketimbang Kerajaan Majapahit. Yaitu, menjelang akhir abad ke XIII sekitar tahun 1292 Masehi ketika mulai runtuhnya Kerajaan Pajajaran, surutnya Kerajaan Singasari, dan pada saat itu Kerajaan Majapahit juga belum berdiri.
Kadipaten Pati Pesantenan adalah penggabungan tiga wilayah yang sebelumnya bertikai. Yakni Kadipaten Paranggaruda yang wilayah kekuasaannya dari sungai Juwana ke selatan, sampai pegunungan Gamping Utara berbatasan dengan Kabupaten Grobogan.
Kemudian Kadipaten Carangsoka, yang wilayah kekuasaannya meliputi utara sungai Juwana sampai pantai Utara Jawa Tengah bagian timur (Kabupaten Rembang). Serta Majasemi yang wilayahnya sangat kecil yang kini di pusat Kabupaten Pati.
Awalnya, Adipati Paranggaruda yang bernama Yudhapati dan Adipati Carangsoka, Puspa Andungjaya ingin menyatukan kedua wilayah (Kadipaten Paranggaruda dan Kadipaten Carangsoka) dengan cara
menjodohkan kedua anak mereka.
Namun Adipati Yudhapati marah lantaran anak Adipati Puspa Andungjaya, Dewi Ruyung Wulan menolak dan melarikan diri saat resepsi pernikahan. Dewi Ruyung Wulan tidak mau dijodohkan dengan anak Adipati Yudhapati, yakni Raden Jasari, yang cacat fisik dan buruk rupa.
Kemarahan Adipati Paranggaruda, Yudhapati, tidak hanya pada Adipati Carangsoka, Puspa Andungjaya, yang anaknya Dewi Ruyung Wulan melarikan diri, tapi juga marah pada Ki Sukmayono, Panemu (pemimpin) di wilayah Majasemi, yang telah menyembunyikan Dewi Ruyung Wulan dalam pelarian bersama Dalang Soponyono.
Pertumpahan darah pun tidak bisa dielakan. Dalam peperangan, Adipati Yudhapati berhasil membunuh Penemu Raden Sukmayana. Namun Adipati Yudhapati juga tewas dibunuh Raden Kembangjoyo, adik dari Raden Sukmayono. Selain Yudhapati dan Sukmayono, perang juga menelan banyak orang.
Lantatan berhasil membunuh Adipati Yudhopati, Adipati Puspa Andungjaya menjadikan Raden Kembangjoyo sebagai menantu, dijodohkan dengan putrinya, Dewi Ruyung Wulan. Tidak hanya itu, tahta Kadipaten Carangsoka pun diserahkan pada dia. Dan setelah itu, Kembangjoyo menyatukan tiga wilayah itu menjadi satu dan diberi nama Kadipaten Pati Pesantenan. Namanya berganti Adipati Jayakusuma.
Dan ibukota Pati Pesantenan juga dipindah, yakni di Desa Kemiri. Setelah Raden Jayakusuma meninggal, kepemimpinan di Kadipaten Pati Pesantenan diteruskan anak tunggalnya, yakni Raden Tambranegara.
Dalam perjalanan sejarah Kabupaten Pati, Kadipaten Pati Pesantenan terus bertahan hingga saat ini dan berubah nama menjadi Kabupaten Pati, yang kelahirannya diperingati setiap 7 Agustus.(*)
Editor : Langgeng Widodo