LIMA jam sebelum meninggal, Minggu (19/2/2023), seorang teman menulis dalam status WhatsApp (WA). "Jare arep dadi Sarif Tambak Osho hehehehehe".
Saya tidak tahu, apakah tulisan pada status WA itu ditujukan pada diri sendiri yang ingin mengidentifikasi sebagai Sarif Tambak Osho (yang benar Sarip Tambak Oso). Atau ditujukan pada orang lain/koleganya yang ingin menjadi seperti Sarip Tambak Oso.
Apakah status WA itu hanya sebatas candaan saja, atau serius, hanya penulis yang tahu. Yang pasti, tulisan itu dibuat dalam suasana ceria, bahagia, karena ada tambahan hehehehe.
Penasaran dengan maksud tulisan itu, saya mencari / search di google, apa itu Sarip Tambak Oso. Ternyata, Sarip Tambak Oso adalah sebuah cerita sebuah legenda yang mashur dari Sidoarjo Jawa Timur. Bahkan legenda itu diyakini ada, nyata oleh masyarakat setempat.
Cerita Sarip Tambak Oso hampir mirip dengan Legenda Robin Hood dari Inggris yang mengisahkan maling atau begal budiman, yang membagikan hasil jarahannya pada rakyat kecil, wong cilik.
Sarip Tambak Oso dan Robin Hood juga sama-sama menentang kesewenang-wenangan dan ketidakadilan, menentang pemerintah/penjajah. Dan yang membedakan, Sarip lebih sakti, tidak akan mati meski dibunuh 1.000 kali, asal ibunya masih ada.
Dalam legenda tersebut dikisahkan, Sarip adalah jagoan kampung wetan kali di Dusun Tambak Oso, sementara Paidi menguasai kulon kali. Masing masing disegani karena kesaktiannya.
Paidi adalah pendekar yang berprofesi sebagai kusir dokar yang mempunyai senjata andalan berupa Jagang yang terkenal dengan sebutan Jagang Baceman.
Sedangkan Sarip pemuda jagoan dari desa Tambak Oso yang berhati keras, mudah marah, namun sangat menyayangi kaum miskin, terutama kepada ibunya yang seorang janda. Di tengah kemiskinan dan kebodohan, Sarip bertindak sebagai maling budiman yang mencuri di rumah-rumah orang Belanda, saudagar kikir, dan para lintah darat, untuk dibagi-bagikan kepada warga miskin.
Sarip selalu menjadi target operasi pemerintah kolonial Belanda, karena perbuatannya yang dianggap membuat keonaran dan memprovokasi masyarakat untuk menentang kebijakan Belanda.
Suatu hari, Sarip mendapati ibunya sedang dihajar oleh Lurah Gedangan karena ibunya tidak dapat membayar pajak tanah garapan berupa tambak. Melihat hal tersebut Sarip marah dan langsung menghabisi nyawa lurah itu dengan sebilah pisau dapur yang menjadi senjata andalannya.
Di lain hari diceritakan, Saropah (adik misan Sarip) hendak pulang dari menagih pada orang-orang yang terpaut hutang dengan orang tuanya, di tengah jalan bertemu dengan Sarip dan pada saat itu Sarip bermaksud meminjam uang pada Saropah.
Karena belum mendapat izin dari orang tuanya, Saropah tidak mengabulkan permintaan Sarip. Sarip yang punya perangai kasar tidak sabar dan memaksa Saropah menyerahkan arloji (jam tangan) yang dipakainya.
Dan disaat terjadi perseteruan, muncullah Paidi yang hendak menjemput Saropah. Oleh Orang tua Saropah Paidi memang dipercaya untuk menjaga Saropah agar aman dari ancaman orang-oranh yang tidak senang.
Setelah terjadi perang mulut antara Sarip dan Paidi, terjadilah duel antara dua pendekar itu. Sebilah pisau dapur ternyata tidak lebih mempan dibanding Jagang Baceman yang lebih panjang, akhirnya Sarip tewas dalam duel tersebut dan mayatnya dibuang di sungai Sedati.
Dibagian hilir sungai Sedati, kebetulan bunda Sarip tengah mencuci pakaian. Entah kenapa karena pikirannya gundah gulana memikirkan anaknya itu, dia berhenti mencuci karena ada warna merah darah yang mengalir di sungai itu.
Kemudian, dia berjalan mencari sumber darah tersebut. Alangkah terkejutnya dia ketika didapatinya sumber warna merah tersebut adalah mayat anaknya. Spontanitas dia menjerit dan berteriak : "Sariiip durung wayahe Nak....."
Spontan, Sarip yang meninggal bangkit dari kematiannya dan segera berlari menemui ibunya,. Kemudian, Sarip menantang duel lagi dengan Paidi dan Paidi tewas dalam duel yang kedua ini.
Kepada Sarip, kemudian ibunya bercerita, ketika Sarip masih dalam kandungan, ayahnya bertapa di goa selama beberapa waktu. Dan ayahnya baru kembali pada saat anak keduanya itu telah lahir. Ayah Sarip pulang dengan membawa sebongkah kecil tanah merah atau lemah abang.
Selanjutnya tanah tersebut dibelah dan diberikan pada Sarip dan Ibunya untuk dimakan. Dikatakan oleh ayah Sarip, bahwa Sarip akan dapat bangkit dari kematian apabila ibunya masih hidup, meskipun ia terbunuh 1.000 kali sehari.
Namun akhirnya, Sarip mati juga. Pemerintah kolonial Belanda yang tahu dengan rahasia itu, punya trik untuk menghabisi Sarip. Caranya, Belanda terlebih dulu membunuh ibunya sebelum membunuh Sarip. Selamat jalan kawan.... Swargi langgeng.(*)
Editor : Langgeng Widodo