SOLO, iNewsMuria.id - Program makan siang bergizi gratis yang digagas pemerintah pusat disebut bisa menuai berbagai permasalahan, termasuk kekhawatiran akan dampak lingkungan dan potensi krisis pangan.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Program Yayasan Gita Pertiwi, Titik Eka Sasanti, dalam jumpa pers bertema "Sustainable Planet for Sustainable Living", pada Kamis 12 Desember 2024 di Hotel Dana Kota Solo.
Menurut Titik, jika setiap siswa menerima makanan seberat 300 gram dan 30% di antaranya terbuang, potensi sampah makanan dapat mencapai 17 ton per hari.
"Angka ini belum termasuk sampah anorganik kalau misal makanan itu disajikan dengan pembungkus. Tentu akan memenuhi TPA," ujarnya.
Titik mengusulkan agar program makan siang gratis dilakukan secara bertahap untuk mengurangi risiko, baik dari sisi penumpukan sampah maupun potensi krisis pangan.
Ia menekankan pentingnya menggandeng komunitas lokal yang peduli terhadap isu lingkungan untuk membantu mengelola sampah dan mendukung ketahanan pangan.
Tak hanya itu, Titik juga menyoroti bahwa selera makan anak berbeda-beda, sehingga makanan yang disediakan—meskipun dirancang oleh ahli gizi—tidak selalu sesuai dengan kebutuhan atau preferensi anak.
"Selain itu, perbedaan kebutuhan porsi makan antara anak SD dan SMA menambah kompleksitas program ini. Yang bisa memicu munculnya sampah dari makanan yang tidak habis," lanjutnya.
Karenanya, sebagai solusi, Titik mengusulkan agar kantin sekolah dilibatkan dalam penyediaan makanan. Kantin dapat menyajikan menu yang bervariasi dan tetap berada di bawah pengawasan ahli gizi.
Sementara itu, Sultan Nadjamuddin, Kabid Perekonomian dan Sumber Daya Alam BAPPEDA Pemkot Surakarta, menambahkan bahwa program ini dapat memicu krisis pangan.
Kota Surakarta, misalnya, akan kesulitan mendapatkan bahan makanan karena daerah sekitar juga membutuhkan pasokan untuk program yang sama.
“Jika bahan baku diambil habis oleh daerah setempat, Kota Solo mau ambil dari mana? Selain itu, permintaan tinggi secara serentak pasti akan melambungkan harga bahan pokok dan memicu inflasi,” jelas Sultan.
Sultan mengungkapkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan telur saja, Kota Surakarta membutuhkan anggaran sebesar Rp300 juta per hari, yang menunjukkan betapa berat beban penyediaan bahan baku.
Sultan mendukung ide ini dengan menyoroti perlunya inovasi dalam pengelolaan sampah makanan.
“Sampah, meskipun bau, jika dikelola dengan baik bisa menghasilkan manfaat ekonomi,” ujarnya.
Keduanya sepakat bahwa program makan siang gratis dapat menjadi peluang untuk memperkuat kerja sama antara pemerintah, komunitas, dan sektor swasta.
Selain itu, program ini harus dilaksanakan dengan perencanaan yang matang untuk mencegah dampak negatif seperti penumpukan sampah, kenaikan harga bahan pokok, dan ancaman krisis pangan.
Melalui kolaborasi yang baik, tantangan ini dapat diubah menjadi peluang untuk menciptakan sistem pangan dan lingkungan yang lebih berkelanjutan. (*)
Editor : Langgeng Widodo
Artikel Terkait