JAKARTA, iNews - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengimbau kepada pemerintah untuk menyelaraskan peraturan mengenai proses merger dan akuisisi (M&A) pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Menurutnya, keselarasan aturan ini sangat penting untuk memberikan perlindungan yang lebih kuat bagi eksekutif BUMN, yang sering kali menghadapi risiko hukum ketika mengambil keputusan bisnis besar seperti merger atau akuisisi. Hal ini diungkapkan Hikmahanto dalam diskusi bersama Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), di Jakarta, baru-baru ini.
Hikmahanto menjelaskan bahwa dalam konteks korporasi, terdapat prinsip yang dikenal dengan Business Judgment Rule (BJR), yang bertujuan untuk melindungi para pengambil keputusan bisnis dari tanggung jawab hukum, selama keputusan tersebut diambil dengan itikad baik dan pertimbangan yang wajar. jaminan bahwa direksi atau manajemen sebuah perusahaan, termasuk BUMN, tidak akan mudahBJR ini dapat memberikan jaminan bahwa direksi atau manajemen sebuah perusahaan, termasuk BUMN, tidak akan mudah dijerat hukum hanya karena keputusan bisnis yang tidak menguntungkan.
Menurut Hikmahanto, prinsip BJR perlu diterapkan dengan lebih konsisten dalam sistem hukum Indonesia, khususnya di sektor BUMN. "BJR membantu melindungi pengambil keputusan dalam korporasi, tetapi sayangnya sering kali tidak diperhatikan dalam praktik. Oleh karena itu, penting untuk menyelaraskan undang-undang yang ada agar BUMN bisa lebih aman dalam menjalankan aktivitas M&A," ujarnya.
Penerapan BJR yang konsisten, menurut Hikmahanto, dapat mencegah eksekutif BUMN dari potensi kriminalisasi yang tidak semestinya. Jika tidak ada aturan yang jelas, keputusan yang diambil oleh manajemen untuk kemajuan perusahaan bisa dengan mudah disalahartikan dan berujung pada tindakan hukum yang tidak adil. Hal ini bisa membuat pengambil keputusan di BUMN menjadi lebih berhati-hati, bahkan menghindari pengambilan langkah strategis yang penting.
Di negara-negara seperti Australia, penerapan BJR telah memberikan perlindungan hukum yang jelas bagi eksekutif yang membuat keputusan bisnis dengan itikad baik dan pertimbangan wajar. BJR mengurangi ketakutan pengambil keputusan terhadap kemungkinan tuntutan pidana, bahkan ketika keputusan bisnis tersebut berakhir dengan kerugian. Hikmahanto menyarankan agar Indonesia mengikuti contoh positif tersebut, agar eksekutif BUMN tidak terhambat dalam membuat keputusan strategis yang penting untuk kemajuan perusahaan.
Lebih lanjut, Hikmahanto menekankan pentingnya pembeda yang jelas antara kesalahan dalam keputusan bisnis dan tindakan pidana. "Tindakan bisnis yang tidak menguntungkan harus dibedakan dari kelalaian yang dapat berujung pada tanggung jawab pidana. Penerapan BJR akan mengurangi ketegangan ini dan memastikan pengambil keputusan BUMN dapat fokus pada pengembangan perusahaan," kata Hikmahanto.
Dengan penerapan BJR yang tepat, BUMN Indonesia diharapkan dapat memperkuat daya saingnya di pasar global. Eksekutif BUMN yang merasa aman dari potensi tuntutan hukum yang tidak semestinya akan lebih berani mengambil risiko yang terukur, yang pada akhirnya akan mendorong inovasi dan pertumbuhan. Untuk itu, penting bagi pemerintah dan regulator untuk menciptakan kerangka hukum yang menyelaraskan prinsip BJR, sehingga BUMN Indonesia bisa lebih kompetitif di dunia internasional.
Editor : Langgeng Widodo
Artikel Terkait