TANGERANG, iNewsMuria – Eksekusi lahan yang di dalamnya terdapat bangunan Pondok Pesantren Salafi Nurul Jannah di kawasan Bunder, Cikupa, Kabupaten Tangerang menuai polemik. Warga setempat melayangkan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Tangerang dan melaporkan ke polisi usai adanya penahanan seorang warga oleh aparat polisi terkait permasalahan sengketa tanah.
Kuasa hukum warga Bunder, Cikupa, Doni Ahmad Solihin mengatakan, gugatan dilayangkan karena adanya kejanggalan secara prosedural hukum, baik pihak pribadi maupun perusahaan atas perusakan bangunan.
“Klien kami Haji Sobari memang tidak pernah mengklaim tanah ini yang ditempatinya dari tahun 1988. Namun ini ada kejanggalan secara prosedural hukum terkait eksekusi pengosongan lahan terlebih adanya dugaan pihak PT PUE menggunakan aparat kepolisiain sengaja untuk mengintimidasi warga, ini seharusnya tidak boleh,” ujar Doni dalam keterangannya, Jumat, 17 Juli 2024.
Doni mengatakan, pengosongan lahan seluas 11.290 m2 yang dilakukan PT PUE dengan membawa ratusan personil aparat dari Polresta Tangerang terindikasi melawan hukum.
“Seharusnya, mereka melakukan eksekusi pengosongan terkait objek sengketa harus dengan menunjukan dan dibacakan amar putusan Pengadilan Negeri secara keperdataan melalui jurusita pengadilan bila perlu dengan bantuan aparat penegak hukum,” paparnya.
Namun yang terjadi tidak demikian, menurut Doni, eksekusi lahan dilakukan secara sepihak.
“Ini sangat disayangkan, di situ kan ada bangunan Ponpes Salafi Nurul Jannah sehingga kegiatannya ikut terhenti akibat dari eksekusi liar atau sepihak. Saya sebagai kuasa hukum menilai ada dugaan indikasi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Mirna Sriyanti dan PT PUE yang mengklaim memiliki tanah dan pemilik surat baik itu SHM maupun HGB,” bebernya.
Berkaitan dengan tindakan sepihak itu, Doni menyebut bahwa perbuatan yang dilakukan oleh PT PUE dengan melakukan eksekusi lahan secara sepihak tidak dibenarkan secara hukum.
“Kan ada jalur dan tahapannya, terlebih mereka punya kuasa hukum dan pendamping hukum sendiri. Saya yakin hukum itu sekarang terbuka luas, makanya kami berusaha untuk mempertahankan apa yang sudah klien kami bangun dan jangan sampai tajam kebawah tumpul keatas,” ujar Doni.
Doni juga membeberkan berdasarkan Undang-undang pokok agraria yang menyebutkan, bahwa ada pemisahan horizontal terkait dengan hak guna bangunan dan hak atas tanah.
Dari sejumlah bangunan yang telah diratakan, juga terdapat bangunan pondok pesantren yang merupakan sarana kegiatan ibadah mulai dari majelis ilmu, pengajian serta kegiatan belajar mengajar untuk anak-anak hingga dewasa.
“Kami tetap teguh menuntut untuk ganti rugi atas bangunan yang telah dibangun sejak 1988 itu. Kita akan selesaikan di pengadilan melalui prosedur, karena undang-undang agraria itu lex spesialis,” tegas Doni.
Disisi lain, sambung Doni, terkait penangkapan kliennya oleh pihak kepolisian merupakan kewenangan yang berwenang. Namun, ketika ada asas ultimum remedium, maka dugaan tindak pidana harus dikesampingkan dahulu.
“Kami sudah gugat secara perdata serta kita tuntut kerugiannya, maka sudah sepatutnya dugaan tindak pidana yang dilakukan klien kami harus dihentikan sementara dan selama gugatan perbuatan melawan hukum yang telah di ajukan dengan nomor 767/pdt.g/2024/PN. Tng masih dalam proses sengketa, maka pihak kepolisian pun harus menghargai hak keperdataan yang sedang berproses hingga adanya putusan di pengadilan serta penggunaan ultimum remedium yang merupakan hukum pidana sebagai sebuah jalan akhir dalam penegakan hukum itu dapat dibenarkan dalam rangka supremasi hukum,” pungkasnya.
Editor : Langgeng Widodo