DEMAK,iNewsMuria.id-Demak adalah kerajaan/kasultanan besar, kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Kerajaan Demak-lah yang mampu merebut kekuasaan Majapahit, kerajaan besar yang mempunyai mahapatih Gajahmada dan mampu menyatukan Nusantara dengan Sumpah Palapa-nya.
Kerajaan Demak yang berlokasi di pantai utara, sebelah timur Kota Semarang semula hanyalah pondok pesantren yang didirikan oleh Raden Patah. Dengan dukungan masyarakat setempat dan para wali, terutama Sunan Kalijaga, pondok pesantren tersebut menjadi Kadipaten Demak di bawah kekuasaan Majapahit.
Dalam perjalanannya, Kadipaten Demak makin besar dan berubah menjadi Kesultanan/Kerajaan Demak. Pada masa kepemimpinan Sultan Trenggono (cucu Raden Patah), Kerajaan Demak mengambil alih kekuasaan Kerajaan Majapahit yang mulai redup.
Sayang, meski mampu merebut kekuasaan Kerajaan Majapahit, namun Kerajaan Demak Tidak meninggalkan atau menyisakan bangunan kerajaan, seperti halnya kerajaan-kerajaan lain pada umumnya.
Satu-satunya bangunan besar yang tertinggal atau tersisa dari jejak peninggalan Kerajaan Demak di Kabupaten Demak sampai saat ini dan masih dirawat baik serta digunakan adalah Masjid Agung Demak. Masjid Agung Demak diyakini dibangun oleh Raden Patah, dengan dibantu para wali pada abad 15 Masehi.
Di Masjid Agung itu, juga terdapat bukti-bukti lain yang diyakini sebagai bukti keberadaan Kerajaan Demak. Seperti, saka atau soko guru masjid yang berjumlah empat tiang dan menjadi peyangga masjid. Saka guru itu yang membuat adalah para wali.
Tanda lain, di pintu Masjid Agung Demak ada pintu bledeg atau lawang bledek yang hingga kini masih terpakai. Pintu tersebut dibuat dan dipahat oleh Ki Ageng Selo, orang sakti yang penakluk petir yang hidup di masa Kerajaan Demak.
Di Masjid Agung Demak ada Dampar Kencana. Dampar Kencana atau tempat duduk raja itu pemberian Raja Majapahit Brawijaya V kepada Raden Patah yang ditahbiskan sebagai raja Kerajaan Demak. Dampar Kencana itu kini dijadikan mimbar di masjid untuk ceramah.
Di Masjid Agung Demak ada Surya Majapahit, sebuah ornamen atau dekorasi berbentuk segi delapan yang terkenal di era Majapahit. Menurut sejarawan, Surya Majaphit ditemukan ketika bangunan kerajaan itu runtuh.
Kolam Wudhu di Masjid Agung Demak juga diyakini sebagai salah satu peninggalan Kerajaan Demak yang pada saat itu digunakan wudhu para waliso. Konon, Kolam Wudhu itu pernah dijadikan sebagai tempat sayembara untuk menentukan sultan ke 4 Kesultanan Demak Bintoro.
Selain Masjid Agung, yang tidak kalah penting dari jejak peninggalan Kerajaan Demak adalah makam Sunan Kalijaga yang terletak di Kadilangu Demak, tak jauh dari Masjid Agung. Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said, salah satu dari sembilan wali atau Walisongo, pendukung Kerajaan Demak, terutama dalam syiar Agama Islam.
Hingga kini, makam Sunan Kalijaga tidak pernah sepi pengunjung yang ingin ziarah. Mereka datang dari berbagai kota bahkan luar negeri, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Di makam ini setiap tahun digelar kegiatan penjamasan pusaka Sunan Kalijaga, yang dikenal dengan Grebeg Besar.
Lantas, kenapa Kerajaan Demak Tidak Meninggalkan Bangunan Kerajaan meski Demak adalah kerajaan besar dan mampu meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Majapahit. Ternyata intrik perebutan kekuasaan yang menjadi salah satu penyebab, selain dendam.
Di awal pemerintahan Kerajaan Demak yang dipegang Raden Patah (1500-1518 M) dilanjutkan generasi kedua Adi Pati Unus (1518-1521) hingga generasi ketiga Sultan Trenggono (1521-1546), Kerajaan Demak gemah ripah lohjinawi, pengaruhnya makin besar dan wilayahnya makin luas.
Nah, sepeningal Sultan Trenggono dan digantikan anaknya Sunan Prawata (1546-1547). Dan intrik politik mulai muncul. Sunan Prawoto membunuh Surowiyoto, pangeran dari Jipang (kini wilayah Blora) karenadianggap mau merebut kekuasannya. Akibat pembunuhan itu, pengaruh kekuasaan Kerajaan Demak berkurang..
Sunan Prawoto lalu memindahkan kekuasaan Kerajaan Demak ke Pati,. Di Pati, dia hanya berkuasa satu tahun sebelum dibunuh Arya Penangsang, yang tak lain dan tak bukan adalah anak Pangeran Surowiyono.
Setelah menduduki tahta Kerajaan Demak, Arya Penangsang yang berkuasa mulai 1549-1554, juga menyingkirkan Pangeran Hadiri, suami dari Ratu Kalinyamat penguasa Jepara yang dianggap berbahaya bagi kekuasaannya.
Tindakan ini menyebabkan tidak senangnya para adipati di Kerajaan Demak, salah satunya Hadiwijaya dari Pajang (kini Kartasura). Karena ada ancaman, Arya Penangsang memindahkan pusat Kerajaan Demak ke Jipang, sebuah kadipaten dimana Arya Penangsang berasal.
Ibarat mendapatkan karma, Arya Penangsang pun dibunuh Hadiwijaya atau yang dikenal dengan nama Jaka Tingkir. Dengan dibantu Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi, dan anaknya Sutawijaya memberontak melawan Demak. Arya Penangsang tewas, Hadiwijaya menduduki tahta dengan memindahkan kekuasaan ke Pajang, dan menandai berakhirnya kekuasaan Kerajaan Demak.
Dan Kerajaan Pajang inilah yang merupakan cikal bakal Dinasti Mataram yang kemudian pecah menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Nah dengan berpindah pindahnya pusat pemerintahan Kerajaan Demak, dari Demak ke Prawata (Pati) kemudian ke Jipang (Blora) dan terakhir ke Pajang mengakibatkan gedung bangunan Kerajaan Demak sulit dilacak.
Juga belum ada penelitian atau pernyataan resmi, ketika kali pertama pindah ke Pati, apakah gedung pusat pemerintahan Kerajaan Demak, apakah dirobohkan atu tidak. Kalau tidak, peninggalan Kerajaan Demak berupa bangunan kerajaan pasti ada, selain Masjid Agung Demak.(*)
Editor : Langgeng Widodo