Kebijakan Efisiensi, Siapa Merugi?

Tim iNews Muria
Dr Purwanto Yudonagoro.

KEBIJAKAN efisien dalam penggunaan APBN oleh pemerintah, belakangan ini mendapat respon masyarakat luas. Sejumlah media, baik media mainstream maupun media sosial, santer mewartakan dampak dari kebijakan efisiensi itu, khususnya dampak ekonomi, selain manfaat.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), efisiensi adalah kemampuan untuk mencapai hasil maksimal dengan menggunakan sumber daya minimal.

Kebijakan efisien dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025. Kebijakan itu diterbitkan sebagai langkah konkret untuk memastikan efisiensi belanja dalam pelaksanaan APBN dan APBD, dimana seluruh kementerian dan lembaga bahkan pemerintah daerah diminta menyesuaikan anggaran belanja mereka hingga 90%.

Kebijakan efisien bertujuan untuk tata kelola keuangan yang lebih efektif dan efisien guna memaksimalkan manfaat bagi masyarakat. Dari pelaksanaan efisiensi tersebut, ditargetkan senilai Rp 306,69 triliun anggaran bisa dihemat dalam seluruh mata anggaran di 2025.

Kebijakan tersebut, secara langsung maupun tidak langsung, tentu saja berdampak bagi para pelaku usaha yang selama ini bekerja sama dengan pemerintah dalam melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan dalam satu tahun anggaran, tidak terkecuali perhotelan.

Dalam setiap acara pemerintahan (government) yang menyangkut MICE, baik itu seminar, lokakarya, fokus group diskusi (FGD), seminar, pertemuan, dan pameran, baik lokal maupun nasional, sering kali menggunakan hotel sebagai venues dan tempat menginap. Dari kegiatan kegiatan ini lah, hotel mendapat pemasukan utama untuk biaya operasional hotel, seperti gaji karyawan, perawatan fasilitas hotel, bayar listrik, dan lainnya.

Karena itu, kebijakan efisiensi yang dituangkan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tersebut dirasa perlu ditinjau kembali, khususnya bagi dunia usaha yang positif. Ini sangat penting bagi dunia usaha perhotelan yang saat ini mulai bangkit, setelah terpuruk pada saat pandemi Covid-19 antara tahun 2020-2022. Kalau tidak ditinjau ulang, bisa saja kebijakan efisiensi itu membuat dunia perhotelan kembali menangis akibat merugi.

Menurut saya, organisasi perhotelan seperti PHRI (Persatuan Hotel dan Restaurant Indonesia), di tingkat pusat perlu bersilaturrahmi secara langsung kepada pemerintah, dalam hal ini presiden dan DPR RI untuk mencari solusi agar dunia perhotelan tidak merugi. Demikian juga PHRI di daerah, butuh bersilaturahmi pada kepala daerah dan DPRD.

Selain duduk bersama dengan eksekutif dan legislatif untuk mencari solusi, pengusaha hotel juga tidak boleh tinggal diam. Mereka juga perlu dan harus memiliki strategi khusus untuk tetap mengoptimalkan pendapatan agar bisnis tetap berjalan.

Ada beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan para pengusaha hotel agar bisnis tetap berjalan. Seperti pemberian harga khusus bagi tamu yang menginap dan juga memberi harga khusus pada corporate dan governmen terkait penggunaan fasilitas hotel dengan tetap mengutamakan kualitas. Bisa juga menggelar berbagai kegiatan yang melibatkan banyak orang dan bisa menarik tamu menginap di hotel.

Jangan lupa, tetap fokus pada pemasaran dan promosi  untuk membidik pasar baru, baik langsung (direct) maupun pemasaran digital, terutama melalui media sosial. Program untuk loyalitas pelanggan perlu dilakukan agar mereka menceritakan pengalaman mereka menginap di hotel pada orang lain sehingga tertarik. Kerja sama dengan para relasi tetap harus dijaga. Ini penting agar mereka  membantu memperkenalkan hotel pada masyarakat / calon pelanggan.

Sebenarnya, pemerintah (dan pemerintah daerah) perlu menyadari bahwa efek kebijakan efisiensi bisa menimbulkan dampak negatif yang justru merugikan dunia usaha perhotelan. Tapi nampaknya, usaha yang seharusnya didukung perkembangannya itu justru sebaliknya. Saya khawatir kondisi seperti ini secara makro akan menghambat rencana dan investasi jangka panjang yang justru berakibat menurunnya iklim investasi nasional.

Melalui tulisan ini, saya berharap pemerintah mempertimbangkan kebijakan efisiensi, dengan catatan catatan khusus, sehingga tidak ada yang dirugikan. Hotel tidak bisa hanya mengandalkan pemasukan dari satu sektor saja, seperti tamu yang menginap dengan tujuan liburan semata. Tetapi perlu juga mendapat dukungan pemerintah untuk kegiatan kegiatan pemerintah yang menggunakan fasilitas hotel.

Mungkin alangkah baiknya, pemerintah memberi dukungan, entah itu dalam bentuk kebijakan khusus untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang tetap bisa menggunakan fasilitas hotel, setidaknya 1 hingga 3 kali dalam satu tahun anggaran.

Saya paham, kebijakan efisiensi bertujuan baik untuk optimalisasi anggaran pemerintah, sehingga tidak ada yang mubazir dan terkesan hanya menghambur-hamburkan uang untuk kegiatan yang tidak terlalu berdampak langsung manfaatnya bagi penggna anggaran ataupun masyarakat. Tapi di sisi lain, kebijakan ini juga perlu memberi dampak positif bagi dunia usaha yang sedang berjalan, seperti usaha jasa perhotelan.

Nah, jangan sampai hanya karena ingin tujuan efiensi tercapai, tetapi mengorbankan dan merugikan banyak pihak yang justru sedang berjuang mencari pemasukan untuk kehidupan sehari-hari melalui kegiatan-kegiatan usaha yang ada. Karena melalui mereka jugalah pendapatan negara dan pemerintah daerah dalam APBN dan APBD dapat optimal setiap tahun. Semoga bermanfaat. (Dr Purwanto Yudonagoro, pelaku usaha dan akademisi).

Editor : Langgeng Widodo

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network