Kasus Penembakan Bos Rental, Pakar Hukum Desak Pengawasan Ketat Penggunaan Senpi oleh Aparat

Damar Diyan Sumurup
Prof. Henry Indraguna, akademisi sekaligus pakar hukum.

JAKARTA, iNewsMuria - Kasus penembakan bos rental mobil yang melibatkan seorang anggota TNI AL di rest area KM 45 ruas Tol Tangerang-Merak semakin mempertegas pentingnya pengawasan yang lebih ketat terhadap penggunaan senjata api oleh aparat negara. Kejadian ini menambah daftar panjang penyalahgunaan senjata api oleh aparat, baik itu oleh anggota kepolisian maupun tentara. Fenomena semacam ini menunjukkan bahwa kontrol yang ada selama ini masih lemah dan perlu diperbaiki untuk mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan.

Menurut Prof. Dr. Henry Indraguna, seorang pakar hukum, fenomena ini mencerminkan adanya kekurangan dalam pengawasan penggunaan senjata api oleh aparat. Setiap aparat yang diberi kewenangan untuk memegang senjata api seharusnya tunduk pada Standar Operating Procedure (SOP) yang telah ditetapkan. Namun, jika ada penyimpangan, maka hal itu menunjukkan bahwa pengawasan internal di lembaga tersebut masih belum optimal. 

"Jika ada yang menyimpang dari SOP, maka aparat tersebut harus mendapatkan sanksi tegas, baik itu sanksi disiplin bagi TNI maupun sanksi demosi bagi Polri," ujar Prof. Henry dalam keterangannya kepada awak media, Senin (6/1/2025). 

Pengawasan yang lemah ini memang menjadi tantangan besar, terutama bagi lembaga-lembaga penegak hukum yang harus mengawasi anggotanya sendiri. Meskipun demikian, Prof. Henry masih meyakini bahwa profesionalitas TNI dan Polri dalam menegakkan disiplin anggotanya tetap dapat diandalkan. Ia mencontohkan bahwa di beberapa kejadian sebelumnya, baik TNI maupun Polri telah sigap memeriksa dan menghukum pelaku penyalahgunaan senjata api. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan tradisi memberikan sanksi yang keras dan tegas agar efek jera semakin terasa bagi para pelanggar.

Selain itu, evaluasi terhadap pemegang senjata api juga perlu dilakukan secara berkala. Prof. Henry mengusulkan agar setiap anggota yang diberi kewenangan memegang senjata api menjalani pemeriksaan psikologi setiap satu hingga tiga bulan sekali. Hal ini tentu akan menambah beban administrasi, namun menurutnya, langkah ini sangat penting untuk menjaga agar anggota tersebut tetap dalam kondisi psikologis yang stabil. Dengan begitu, penggunaan senjata api dapat lebih terkontrol dan lebih aman bagi masyarakat.

Sementara itu, dalam kasus penembakan di rest area KM 45, muncul pula polemik terkait permintaan pengawalan yang tidak dipahami dengan jelas antara anak korban dan pihak kepolisian. Anak korban menginginkan pendampingan, namun menurut Kapolsek Cinangka, permintaan tersebut tidak disertai dengan informasi yang memadai. Prof. Henry menyebutkan bahwa ada kemungkinan terjadi salah paham dalam komunikasi antara kedua pihak. Kapolsek menganggap bahwa permintaan itu hanya terkait dengan leasing, sementara anak korban tidak menjelaskan secara rinci konteks permintaan pengawalan tersebut.

Tantangan komunikasi antara masyarakat dan aparat penegak hukum memang sering kali menambah kerumitan dalam penanganan kasus. Prof. Henry menyarankan agar masyarakat yang membutuhkan bantuan dari kepolisian menyampaikan informasi dengan jelas dan akurat, sehingga aparat dapat mengambil tindakan yang tepat. Hal ini sangat penting untuk memastikan agar petugas tidak salah dalam memetakan situasi dan mengambil keputusan yang sesuai dengan prosedur.

Perbedaan pemahaman tentang kedaruratan antara masyarakat dan petugas kepolisian seringkali menimbulkan ketegangan. Masyarakat yang dalam kondisi emosional sering kali menginginkan tindakan cepat, sementara polisi perlu melakukan pemetaan situasi lebih mendalam untuk menentukan langkah terbaik. Prof. Henry memberikan analogi seperti halnya ketika seorang keluarga membawa pasien kecelakaan ke rumah sakit. Keluarga ingin segera mendapatkan perawatan, namun tim medis memerlukan waktu untuk memeriksa kondisi pasien dan menyiapkan fasilitas yang diperlukan. Hal ini menunjukkan bahwa ada proses yang perlu dilakukan untuk memastikan keselamatan semua pihak.

Dalam konteks yang lebih luas, Prof. Henry menekankan bahwa pentingnya pengawasan terhadap pemegang senjata api tidak hanya berkaitan dengan penerapan SOP semata, tetapi juga melibatkan evaluasi menyeluruh terkait kondisi psikologis dan emosional para aparat. Ketika seseorang memegang senjata api, rasa percaya diri mereka bisa meningkat tajam. Jika dalam kondisi emosional yang tidak stabil atau sedang menghadapi masalah pribadi, ini bisa menjadi pemicu penyalahgunaan senjata api yang sangat berbahaya. Oleh karena itu, evaluasi yang lebih ketat terhadap kondisi mental aparat yang memegang senjata api harus menjadi bagian dari upaya menjaga keselamatan dan ketertiban masyarakat. 

Lebih lanjut Prof Henry menegaskan, penyalahgunaan senjata api oleh aparat negara adalah masalah serius yang harus dihadapi dengan kebijakan yang lebih tegas dan pengawasan yang lebih ketat. Kejadian-kejadian seperti penembakan di rest area KM 45 tidak boleh terulang lagi. Oleh karena itu, perlu ada reformasi dalam sistem pengawasan dan evaluasi terhadap aparat yang memegang senjata api, baik dari sisi pelatihan, pengawasan psikologis, maupun disiplin internal. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan penggunaan senjata api oleh aparat dapat lebih terkontrol dan tidak merugikan masyarakat.
 

Editor : Langgeng Widodo

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network